SUARA PEMBACA

Kartu Pra-Kerja: Ilusi atau Solusi?

Tangkal pengangguran dengan jurus sakti berupa kartu pra-kerja yang akan segera terbit tahun 2020. Kartu pra kerja ini akan menyasar tiga kalangan yakni para pencari kerja yang baru lulus, pekerja yang ingin meningkatkan skill, serta korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta program kartu pra-kerja yang merupakan janjinya pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu segera bisa diimplementasikan. “Saya minta kartu pra-kerja ini segera bisa diimplementasikan tahun depan,” kata Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). “Kita harapkan saat menginjak bulan Januari program ini sudah dijalankan,” ujar Kepala Negara.

Namun, Peresmian program kartu pra kerja ini kemungkinan molor dari jadwal semula. Tadinya, program ini bakal dirilis pada Januari, namun diundur menjadi Maret 2020. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beralasan, pemerintah saat ini masih terus mematangkan konsep dan aturan teknis pelaksanaan program tersebut. “Perpres-nya (peraturan presiden) lagi disiapkan, sama PMO, project manager office sedang dipersiapkan. Ya mungkin butuh waktu, Maret mungkin, artinya 2020 pasti,” kata Ida usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Kartu Pra-Kerja yang dicetak secara digital itu bakal berisi saldo sekitar Rp3,650 juta sampai Rp7,650 juta. Total anggaran untuk kebijakan ini sebesar Rp10 Triliun untuk 2 juta penerima kartu.

Menko PMK, Muhadjir Effendy, mengatakan Kartu Pra-Kerja akan dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin. Ia menambahkan, pemberian Kartu Pra-Kerja ini masuk dalam program sertifikasi nikah.

Muhadjir juga menjelaskan bahwa saldo yang ada di dalam kartu digunakan untuk membiayai program pelatihan yang diseleksi dari para pencari kerja atau korban PHK untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Kalau kita menilik, lantas apakah program Kartu Pra-Kerja ini sudah menyentuh akar masalah khususnya dibidang ketenagakerjaan?

Karena, Pertama jatah penerima Kartu Pra-Kerja terbilang lebih kecil dibanding jumlah pengangguran. Merilis data BPS, jumlah pengangguran meningkat dari 7 juta orang pada Agustus 2018 menjadi 7,05 juta orang. Jumlah ini didominasi lulusan SMK sebesar 10,42 persen, SMA 7,92 persen, diploma 5,99 persen, universitas 5,67 persen, SMP 4,75 persen, dan SD 2,41 persen.

Kedua, sejatinya Kartu Pra-Kerja bukanlah gaji untuk pengangguran sebagaimana yang pernah digembar-gemborkan semasa kampanye lalu. Lebih tepatnya, Kartu Pra-Kerja adalah program peningkatan skill angkatan kerja.

Pembiayaan pelatihan itu ter-cover dalam uang yang ada dalam kartu tersebut. Setelah peserta mendaftar secara online, memenuhi syarat dan prosedur pendaftaran, mereka akan mengikuti pelatihan sesuai lembaga pelatihan yang dipilih.

Biaya pelatihan itu bekisar antara Rp3 juta hingga Rp7 juta yang ditanggung pemerintah. Setelah itu, peserta akan mengikuti uji kompetensi dan mendapat insentif sebesar RP500 ribu. Jadi, yang disebut ‘gaji’ pengangguran sejatinya adalah insentif sebesar Rp500 ribu itu yang hanya sekali diberikan.

Pemerintah hanya memberi pelatihan dan modal mencari kerja, bukan gaji. Tak ada jaminan mereka pasti mendapat pekerjaan pasca mengikuti pelatihan melalui Kartu Pra-Kerja.

Ketiga, masalah pengangguran yang terus meningkat sebenarnya bukan karena skill atau kurangnya keterampilan yang dimiliki masyarakat. Namun, berasal dari kurangnya lapangan kerja serta iklim usaha yang kembang kempis.

Pemberian Kartu Pra-Kerja sangat tidak sinkron dengan apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Pemerintah terkesan tidak serius dan hanya sekadar iming-iming kepada rakyat dengan harapan palsu. Padahal yang dibuthkan calon pekerja ini bukanlah kartu pra kerja melainkan kepastian lapangan kerja. Kartu pra kerja yang diberikan pemerintah tidak menyentuh akar masalah. Maka dari itu kartu pra kerja ini hanyalah sebuah ilusi bukan solusi.

Putri Irfani S, S.Pd
Muslimah Dakwah Community

Artikel Terkait

Back to top button