Karya Klasik yang Perlu Dikaji Seksama
Buku “Islam dan Sekulerisme” karya Prof Naquib Alatas saat ini diterjemahkan lebih dari tujuh bahasa.
Suatu ketika di tahun 70-an di sebuah kampus Malaysia, terjadi dialog kecil antara dua orang profesor ahli sastra Melayu. Prof Syed Muhammad Naquib al Attas dan Prof Sutan Takdir Alisjahbana.
Sutan Takdir, seorang pengagum Barat, menantang Alatas untuk membuktikan keberadaan Tuhan. “Saya beri waktu 20 detik, kalau Tuhan itu ada, cabut nyawaku,” kata Takdir. Alatas berdiam sejenak, kemudian menjawab: “Kalau Tuhan tunduk kepada kehedakmu, maka ia bukan Tuhan, ia budakmu. Tuhan berkehendak sendiri kapan Dia mau mencabut nyawamu dan kamu tidak akan bisa menolaknya.”
Sampai di situ, kisah dialog yang diceritakan kembali oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud kepada hadirin saat peluncuran buku “Islam dan Sekularisme” karya Prof Naquib al Attas (penerjemah Dr Khalif Muammar),di Aula Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, pada 7 Agustus 2010 lalu.
Selain dikaji secara serius di UI Depok dengan beberapa intelekual Muslim, buku klasik itu juga didiskusikan di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Kini buku karya Prof Alatas itu, menjadi kajian penting bagi para sarjana bila berbincang tentang Islam dan Sekulerisme.
Buku Islam dan Sekulerisme karya sang jenius ini –julukan yang diberikan Fazlur Rahman kepada Naquib Alatas—telah diterjemahkan para cendekiawan Muslim ke dalam bahasa mereka, seperti bahasa Indonesia, Persia, Turki, Bosnis, Urdu, Tamil, Kosovo dan Arab.
Karya agung ini, menurut Guru Besar Institut Alam dan Tamadun Melayu-Universiti Kebangsaan Malaysia, Prof Wan Daud: “Adalah sebuah karya agung kulli, sejagat atau universal, karena seluruh isi kandungannya membincangkan dan menganalisa perkara-perkara paling asas dalam kebudayaan Barat dan agama Islam. Pendekatannya sekaligus ilmiah dengan hujjah yang kukuh dan dalil yang mengagumkan. Pendekatannya juga bersifat amaliah bila merencanakan perubahan kurikulum dan penubuhan institusi pengajian tinggi sebagai wahana paling strategis untuk mengembalikan kekuatan dan kemajuan umat Islam sedunia. Malah, bagian lampiran yang meringkaskan tahap-tahap dan daya pengislaman Alam Melayu mempunyai kaidah pengkajian dan penilikan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat yang sama di daerah-daerah lain. Ciri-ciri yang terdapat pada karya ini secara langsung dapat dipahami golongan Islam berpendidikan di seluruh dunia.”
Pemikiran dalam bab kelima buku ini, yaitu tentang “Dewesternisasi Ilmu”, menurut Alatas telah banyak membantu terlaksananya Konferensi/Persidangan Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan di kota Makkah pada tahun 1977.
“Substansi Bab V buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab dan dibacakan sebagai sebuah ucapan dasar (Keynote Adress) dalam sesi umum. Pada tahun 1980, penjelasan terhadap beberapa paragraf dari bab tersebut yang berkaitan dengan konsep Pendidikan dalam Islam dibentangkan dan dibacakan dalam Persidangan Dunia Kedua tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan di kota Islamabad pada awal tahun yang sama,”jelas Prof Alatas dalam pengantarnya (hal. xxiv).
Dalam pembahasan tentang ‘penafibaratan’ ilmu ini ahli pemikiran Islam dan Barat ini, memulainya dengan perkataan: “Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat hari ini. Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metdologi serta menganggap keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran.”
Maka, bila Samuel Huntington pada awal tahun 1990-an menggemparkan dunia dengan teori the Clash of Civilizations, maka Naquib al-Attas lebih awal lagi tahun 70-an, telah menguraikan gagasan yang lebih mendalam, lebih intelektual dan spiritual dengan menyebutnya sebagai: “the perpetual clash of worldviews between Islam and the West.”
Selain mengungkap tentang pandangan alam Islam vs Barat, kesalahan-kesalahan mendasar tentang ilmu di Barat dan keunggulan ilmu dalam pandangan Islam, Prof Alatas juga mengupas secara tajam hal-hal penting yang perlu diketahui para kaum terpelajar dalam usaha membangkitkan umat ini. Dengan rujukan-rujukan klasik baik dari Barat dan Islam, ia mengupas jernih satu persatu topik tentang Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Sekular-Sekularisasi-Sekularisme dan Islam Paham Agama dan Asas Akhlak.* []
Nuim Hidayat