Kasus Bullying Marak, Generasi Krisis Akhlak

Tampaknya kasus perundungan atau bullying di negeri ini masih sulit untuk diatasi. Kasus bullying masih sangat marak terjadi di kalangan pelajar, seperti yang terjadi di Cicendo, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Diberitakan oleh media Kompas Bandung (10/06), seorang siswa SMP dipukuli dan ditendang oleh beberapa pelaku yang juga merupakan teman sebaya korban. Bahkan, korban juga sempat diancam akan dibunuh oleh salah satu pelaku. Kasus ini sudah mendapatkan penanganan langsung oleh Polrestabes Kota Bandung dengan melakukan mediasi antara kedua belah pihak di Polsek Cicendo.
Kasus perundungan yang semakin marak, sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Kasus-kasus viral cukup mendapat perhatian banyak dari publik sehingga mendesak para aparat keamanan untuk segera bertindak dan mengamankan para pelaku. Lalu bagaimana dengan kasus bullying yang tidak viral?
Korban-korban bullying seringkali mendapat intimidasi dan ancaman dari pelaku sehingga takut untuk melapor atau menginfokan kepada orang terdekat. Lalu apa sebenarnya akar masalah dari kasus ini?
Akar Masalah Perundungan
Perundungan memang bukan kasus baru, bahkan sudah menjadi budaya dalam perilaku generasi ke generasi. Perundungan adalah dosa besar sekaligus kegagalan bagi pendidikan negeri ini. Krisis akhlak digadang-gadang menjadi permasalahan dari kasus perundungan.
Keluarga sebagai sekolah pertama bagi generasi, dinilai lalai dalam mendidik. Orang tua gagal menanamkan akidah dan keimanan kepada Allah SWT, sehingga anak lebih mudah menerima nilai-nilai yang bertebaran di luar sana via media dan pergaulan. Orang tua yang sibuk dalam mencari nafkah atau mengejar karir, biasanya lalai dalam pengawasan terhadap anak. Mereka dibiarkan berlama-lama dengan gadget, media sosial, dan game. Juga tidak mengawasi dengan siapa anak berteman. Anak-anak seperti ini, cenderung sangat mudah dalam terpapar pengaruh buruk, baik dari internet maupun teman sepermainan.
Kemudian, penerapan nilai sekulerisme yang membumi dalam setiap lini kehidupan. Dalam sistem sekulerisme, kurikulum pendidikan tidak menjadikan akidah Islam sebagai pondasi, bahkan seminimal mungkin nilai agama diterapkan. Kurikulum sekuler ini kemudian menjadikan moral dan agama terdegradasi secara perlahan. Hasilnya, lahirlah generasi yang tidak takut Tuhan, berperilaku bebas tanpa terikat aturan agama, dan juga hedon. Adab dan akhlak nihil dalam pola sikap mereka.
Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah lingkungan. Lingkungan sangat menentukan bagaimana perilaku dan kepribadian seseorang terbentuk. Mirisnya, lingkungan sekarang merupakan hasil dari kehidupan sekuler juga. Nilai-nilai individualis, egois, dan apatis membentuk kepribadian seseorang, pun dalam pertemanan. Ketiadaan budaya amar ma’ruf nahi munkar memungkinkan individu melakukan kejahatan, termasuk bullying, yang kemudian berulang tanpa rasa takut, karena masyarakat pun bersikap apatis.
Negeri ini juga tidak memiliki hukum yang tegas bagi para pelaku, sehingga memungkinkan kejadian terulang kembali. Malah dalam beberapa kasus, para pelaku justru mendapat pengamanan sehingga tak diproses hukum. Belum lagi dengan kategori usia pelaku yang masih di bawah umur. Pelaku hanya dikenakan sanksi wajib lapor. Tentu saja semua ini tak memberikan efek jera. Wajar akhirnya kejadian serupa terus menjamur, meninggalkan dampak traumatis bagi korban, sementara pelaku bebas berkeliaran. Miris!
Peran negara juga sangat nihil dalam memberantas kasus perundungan dari akar. UU Perlindungan Anak sudah mandul, hukum pun bisa dibeli. Belum lagi dengan tayangan-tayangan tak layak bagi anak yang bertebaran, baik di media sosial maupun di media mainstream, seolah lolos begitu saja tanpa filter dari negara.
Akan jadi seperti apa bangsa ini jika generasinya masih melestarikan bullying?