Yang Luput dari Pendidikan Al-Qur’an Dasar Kita

Suara anak-anak mengeja alif, ba’, ta’ saling bersahutan mengisi ruang kosong di salah satu masjid di pinggiran Kabupaten Sleman. Pengajar yang menyimaknya sesekali membenarkan satu dua kalimat yang salah.
Sekilas, TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang diselenggarakan setiap sore tersebut terlihat amat ayem di tengah hiruk pikuk daerah urban Yogyakarta.
Akan tetapi, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya: pengajaran Al-Qur’an dasar di sana, juga bisa ditarik sebagai fenomena umum di Indonesia, hanya berkutat kepada pengucapan huruf hijaiyyah secara dasar tanpa mementingkan makharijul huruf-nya.
Hasilnya, seolah-olah ‘kha’ dan ‘ha’ adalah huruf yang sama, ‘qof’ kasrah yang menjad ‘qi’ tidak ada bedanya dengan ‘kaf’ kasrah yang menjadi ‘ki’, dan masalah-masalah serupa yang sedemikian menumpuk.
Makharijul Huruf dan Artikulator
Menurut Chaer (2019:5) ilmu fonologi adalah salah satu pencabangan dari ilmu linguistik yang mempelajari seluk beluk bunyi bahasa. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa bunyi bahasa tidak sama dengan huruf alfabet. Jika dalam bahasa Indonesia terdapat alfabet ‘i’, maka ada perbedaan pengucapannya dalam ‘bibi’ dan ‘bibir’. Hal itu karena ada perbedaan antara bunyi /i/ dalam /ˈbibi/ (dibaca ‘i’ biasa) dengan /ˈbibɪr/ (‘i’ nya mendekati ‘e’).
Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam sebuah alfabet ‘i’ bisa terdapat perbedaan dalam pengucapan bunyinya tergantung pada posisinya dalam sebuah kata. Contoh lain lagi adalah perbedaan pengucapan ‘o’ dalam kata ‘tokoh’ yang bisa dibaca [ˈtɔkɔh] (pengucapan bunyi ‘o’ dengan mulut yang lebih menganga) dan [ˈtokoh] (pengucapan bunyi ‘o’ dengan mulut yang tidak terlalu menganga). Walaupun begitu, tidak ada perubahan makna yang ditimbulkan dari kedua fenomena tersebut.
Kasus yang berbeda terjadi dalam perbedaan antara bunyi ‘b’ dengan ‘p’. Kita bisa mengucapkan kata ‘bab’ seolah-olah bunyi ‘b’ yang terakhir adalah ‘p’. Akan tetapi, penggantian ‘b’ oleh ‘p’ tidak bisa terjadi dalam awal kata. Bayangkan, Anda ingin mengucapkan ‘bab’ tapi malah menjadi ‘pab’. Oleh karena itu, ada perbedaan antara bunyi ‘b’ dengan ‘p’.
Dalam bahasa Arab, kasus seperti itu dapat dimisalkan dengan perbedaan antara ‘hamzah’ dengan ‘ain’. Jika ‘alim’ diawali hamzah artinya adalah “tersakiti” atau “menyakitkan”, maka jika ‘’alim’ diawali ‘ain’ artinya menjadi “yang berilmu”. Dua kata yang maknanya sangat berbeda, bukan? Ironisnya, masyarakat kita seringkali salah dalam membedakan keduanya. Bahasa ibu kita hanya mengenal ‘a’ tanpa ada ‘ain’ sehingga segala kata yang berkaitan dengan ‘ain’ akan disederhanakan seolah-olah itu ‘hamzah’.
Untuk membedakan bunyi hamzah dan ain seperti contoh tersebut, atau ‘qaf’ dengan ‘kaf’, pun bunyi-bunyi lainnya, diperlukan sebuah pemahaman terhadap makharijul huruf. Menurut Samir (2024) makharijul huruf merujuk kepada titik dihasilkannya bunyi bahasa Arab. Titik tersebut bisa berasal dari mulut, tenggorokan, atau nasal (hidung). Alasan bunyi ‘qaf’ berbeda dengan ‘kaf’ ialah karena adanya titik keluar bunyi yang berbeda pada keduanya. Jika ‘qaf’ keluar dari bagian belakang lidah, maka ‘kaf’ berasal dari posisi yang agak ke depan dan sudah masuk ke bagian mulut.
Dalam fonologi bahasa Indonesia, makharijul huruf disebut dengan artikulator. Perbedaannya, juga yang jadi merepotkan, ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, pun sebaliknya. Masalah semakin runyam ketika penutur asli bahasa Indonesia tidak menyadari adanya masalah tersebut sehingga sering ditemukan berbagai kesalahan saat pengucapan bunyi bahasa Arab. Kebanyakan dari mereka mengucapkan bunyi bahasa Arab dengan bunyi yang ada dalam bahasa Indonesia, seperti ‘kha’ diucapkan menjadi ‘ha’, ‘ain’ menjadi ‘a’, dan sebagainya.
Transkripsi Fonetik
Menurut Wulandari (2020) ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat kita tidak bisa mengucapkan bunyi bahasa Arab dengan benar. Pertama, ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Sebut saja ‘tsa’, ‘dza’, dan ‘ain’. Kedua, keterbatasan masyarakat dalam memproduksi ujaran bahasa Arab. Kebanyakan orang Indonesia belajar bahasa Arab hanya saat belajar Al-Qur’an, itu pun tidak menyasar hingga ketepatan makharijul huruf-nya.
Ketiga, kebiasaan dalam menuturkan bahasa ibu (dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Kebanyakan penutur bahasa Jawa mengucapkan bunyi ‘fa’ dengan ‘pa’ atau penutur Lampung mengucapkan ‘gha’ dengan ‘go’. Hal itu karena dalam bahasa Jawa dan Lampung tidak terdapat terdapat bunyi ‘fa’ dan ‘gha’. Keempat, pengajaran bahasa Arab yang tidak sempurna. Hal ini banyak terdapat dalam pengajaran bahasa Arab yang tidak menekankan makharijul huruf sehingga para pembelajarnya tidak menyentuh aspek paling dasar dari bahasa Arab itu sendiri.