Kata yang Tidak Mungkin Hilang
Pancasila selalu menjadi alat gebug bagi ormas Islam atau masyarakat ketika menuntut penerapan syariat. Mereka akan dituding sebagai anti Pancasila. Namun kini faktanya berbalik, pemerintah sendiri yang mengulik Pancasila melalui RUU HIP. Ingin menggantinya menjadi trisila atau ekasila, bahkan bisa jadi kemudian akan mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Maka wajar jika masyarakat menolak pembahasan RUU HIP. Apalagi komunisme adalah musuh bagi Islam. Paham ini juga telah pernah menorehkan tinta hitam dalam sejarah bangsa. Karenanya segala jalan untuk melempangkan jalannya kembali eksis di bumi pertiwi, tentu harus diwaspadai dan dicegah. Kemungkaran tidak layak menguasai umat.
Namun para anggota dewan malah sepakat dengan pemerintah, bahkan siap untuk menunda pembahasan. Bukan menghentikan, sebagaimana masyarakat ramai menyuarakan penolakannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sejatinya bukanlah wakil rakyat. Sikap ambigu mereka menjadi bukti bahwa mereka sepakat dengan ide komunisme.
Pernyataan sejumlah anggota dewan untuk mencabut pembahasan RUU HIP dengan alasan agar fokus pada penanganan Covid-19 terlebih dahulu, juga merupakan pertanda ada udang di balik batu, yaitu adanya kepentingan politik di balik penundaannya. Karenanya masyarakat tidak boleh lengah, harus terus berpikir politis, mengamati fakta yang berkelindan dalam tubuh umat.
Sebaliknya sikap perwakilan ormas Forum Cirebon Bersatu beserta jajaran DPRD Cirebon, patut mendapat apresiasi. Mereka menunjukkan keberpihakan terhadap Islam, yaitu akidah sahih yang berasal dari Allah. Mereka sepakat bahwa ‘Khilafah’ bukan musuh, bahkan ia pun tidak mungkin dihilangkan dari kehidupan kaum muslim.
Maka tak pelak ide Khilafah kembali naik daun, justru ketika pemerintah sibuk menggodog RUU HIP. Diskusi di tengah masyarakat pun akhirnya sampai di tataran perbandingan tiga ideologi dunia. Imbasnya, masyarakat juga akan sadar bahwa sekularisme sama buruknya dengan komunisme. Keduanya adalah musuh Islam.
Inilah pentingnya aktivitas dakwah yaitu menjaga masyarakat agar tetap dalam ketinggian berpikir. Ketika masyarakat sampai pada pemikiran bangkit, maka mereka sendiri yang akan kembali menempatkan Islam di peringkat tertinggi, serta membuang ideologi-ideologi kufur. Al islaamu ya’lu wa laa yu’laa alaihi.
‘Tajul furudh’ atau mahkota kewajiban yang berusaha dijauhkan dari benak oleh musuh-musuh Islam, atas izin Allah kembali masuk ke dalam pemikiran dan relung hati umat. Khilafah sebagai institusi yang menerapkan Islam kafah, mencari jalannya sendiri agar masyarakat semakin mengenal kemuliaannya.
Keberadaan Khilafah dinanti dan dirindukan. Sebab inilah ‘Junnah dan Raa’in’ atau perisai dan penjaga yang hakiki. Dengannya, umat tidak akan lagi menjadi pesakitan dan obyek penderita kekuatan kufur. Seluruh permasalahan kehidupan akan tuntas. Berbagai kerusakan produk ideologi di luar Islam, beserta para pengembannya, akan dihabisi. Syariat pun kembali tegak.
Maka, memperjuangkan penegakannya adalah sebaik-baik aktivitas, karena mengembalikan Khilafah, adalah mengembalikan umat pada posisinya sebagai pemimpin dunia. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.
Lulu Nugroho
Penulis dan pengemban dakwah dari Cirebon