SIRAH NABAWIYAH

Keadilan Hukum di Masa Rasulullah

Hukum Islam ditegakkan tanpa pandang bulu. Tanpa melihat dari golongan mana ia berasal dan siapa pelakunya.

Sebagian kalangan mengungkapkan, hukum itu seperti pisau. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Fakta menunjukkan, penegakan hukum di era sekarang seperti itu. Bukan hanya hukum itu berlaku bagi kalangan bawah, dalam banyak kasus hukum juga bisa dipermainkan.

Kondisi ini tidak berlaku dalam sistem hukum Islam. Apalagi ketika Rasulullah Saw hidup dan memimpin negara Madinah. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, baik pejabat maupun rakyat biasa. Bahkan sejumlah hukum Islam justru pertama kali “menyasar” keluarga Rasulullah Saw sendiri.

Hukum tentang haramnya riba, misalnya. Pertama kali yang dihapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Saw.

Ketika haji wada’, Rasulullah Saw mengumumkan bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula dizalimi.” (HR. Abu Dawud).

Mendengar sabda Rasulullah ini, sebagian masyarakat waktu itu bertanya,”Apakah kerabat Nabi Saw yang melakukan praktik riba juga wajib menggugurkan riba?.” Demi mendengar pernyataan ini, Beliau Saw menjawab, ”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthallib. Maka riba jahiliyyah dihapus seluruhnya.” (HR. Abu Dawud).

Dalam kasus yang lain, saat salah seorang sahabat muda yang sangat dicintai oleh Rasulullah, Usamah bin Zaid, menghadap beliau untuk melobi supaya memberikan ampunan kepada seorang wanita yang kedapatan mencuri, Rasulullah Saw marah. Hingga beliau mengatakan seandainya putri beliau sendiri yang mencuri, maka beliaulah yang akan memotong tangannya.

Dari ‘Aisyah ra, beliau menceritakan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi Rasulullah Saw?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah Saw.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) Rasulullah (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah keadilan. Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka Rasulullah Saw sendiri yang akan memotong tangannya.”

Maka demikianlah, wajib atas penguasa untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya.

Demikianlah teladan agung yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tak aneh bila para penguasa pengganti beliau, para Khulafaur Rasyidin, juga mewarisi sifat-sifat yang adil dalam menegakkan hukum di tengah masyarakat. Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, adalah pemimpin-pemimpin setelah Rasulullah Saw yang dapat menjadi teladan para penguasa sekarang dalam memimpin negara dan menegakkan hukum di tengah masyarakat.

Demikian pula dengan kisah para wali (gubernur) yang shaleh dan adil dalam sejarah Islam, -seperti Amr bin Ash, Said bin Amir, Muadz bin Jabal, dan lainnya- mereka patut menjadi teladan para gubernur saat ini. Jika itu dilakukan insya Allah negara ini akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Insyaallah.

(Shodiq Ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button