Kebocoran Data Publik, Tanggung Jawab Siapa?
Bjorka tengah menjadi sorotan. Sosoknya sebagai hacker tidak hanya menghebohkan dunia internet, tetapi juga membuat pemerintah ketar-ketir. Pasalnya, Bjorka diduga meretas situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), bahkan ia mengklaim telah mengakses dokumen rahasia milik Badan Intelijen Negara (BIN) yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Nama Bjorka dikenal terkait peretasan data dari Indonesia sejak Agustus lalu. Lewat situs forum breached.to, diketahui bahwa Bjorka telah menjual sebanyak 105 juta data milik warga negara Indonesia (WNI) yang berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia juga mengklaim memiliki 1,3 miliar data registrasi SIM card prabayar Indonesia, yang terdiri atas NIK, nomor telepon, operator seluler, hingga tanggal registrasi. (Detik.com, 11/9/2022).
Kemunculan Bjorka tak urung mencoreng wajah penguasa. Tidak hanya menunjukkan lemahnya perlindungan data pribadi rakyat, tetapi juga menguak borok penguasa yang disimpan rapat. Tidak sedikit warganet yang mengelu-elukan tindakan Bjorka, meskipun disikapi sinis oleh penguasa. Padahal sejatinya, rakyat bukannya membenarkan tindakan Bjorka, melainkan rakyat sudah muak dengan borok penguasanya.
Terlepas dari Bjorka, kebocoran data pribadi rakyat seolah menjadi hal lazim di negeri ini. Bukan kali ini saja pemerintah kebobolan data pribadi rakyat. Sebutlah, pada Mei 2021, diduga sebanyak 279 juta data penduduk Indonesia yang berasal dari BPJS Kesehatan bocor dan dijual di forum hacker. Dugaan kebocoran data juga pernah terjadi dari aplikasi Indonesia Health Alert Card atau eHAC yang digagas Kemenkes pada Juli 2021. (CNNIndonesia.com, 3/9/2021).
Kebocoran data pribadi rakyat yang terus berulang, semestinya jadi pemicu untuk berbenah. Bukan justru saling lempar kesalahan hingga tanggung jawab. Apalagi menyalahkan rakyat yang katanya tak pandai menjaga data pribadinya. Lucu, karena tidak semua rakyat memiliki kemampuan dan akses untuk menjaga data pribadi, justru negaralah yang memiliki kemampuan dan akses tersebut.
Sayangnya, dalam naungan kapitalisme, jangankan menjaga data pribadi rakyat, menjaga rakyat agar terpenuhi hajat hidupnya pun penguasa tampak abai. Ya, pemerintah yang diharapkan sebagai pelindung bagi rakyat, faktanya gagal melindungi kepentingan rakyat, termasuk data pribadi rakyat. Padahal kebocoran data ini niscaya dapat disalahgunakan oleh siapa saja yang memiliki kepentingan.
Sungguh miris, inilah buah kebijakan penguasa yang prematur. Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pendaftaran SIM card wajib menggunakan NIK misalnya, semestinya dibarengi dengan serangkaian sistem keamanan data yang mumpuni. Namun nyatanya tidak ada sama sekali. Akhirnya, data pribadi rakyatlah yang menjadi korban.
Makin tampak bagaimana watak pemimpin dalam naungan kapitalisme, abai mengurusi kepentingan rakyatnya. Tidak heran, jika rakyat pun muak. Memandang para pejabat bertindak amatir dalam mengurus urusan rakyat. Di satu sisi, tampak sibuk menjaga kepentingan para oligarki kapital.
Nyata, kapitalisme tidak hanya sukses melahirkan pemimpin yang gagap menuntaskan problematika rakyat, tetapi juga sukses menumbuhsuburkan prinsip hidup yang berorientasi materi. Menjadikan pundi-pundi materi sebagai sumber kebahagiaan. Tidak heran, jika segala cara pun dihalalkan demi meraih segunung materi. Maka jangan heran jika kasus kebocoran data untuk kepentingan politik dan bisnis pun lazim ditemukan.
Alhasil, kebocoran data yang berulang niscaya tidak akan terjadi, andai para penguasa kembali pada perannya yang hakiki, yakni menjadi pelayan bagi rakyat. Sebab, paradigma Islam memandang bahwa menjadi kewajiban penguasa sebagai pengurus dan perisai bagi rakyatnya. Jangankan data pribadi, hajat hidup rakyat pun akan dilindungi.
Menjadi kewajiban penguasa pula menumbuhsuburkan suasana Islami di tengah rakyatnya. Menjadikan perintah dan larangan-Nya sebagai standar perbuatan. Sehingga kebahagiaan tidak lagi dihargai dengan materi. Sebab, kebahagiaan hakiki adalah saat rida Allah SWT dapat diraih. Wallahu’alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan.