SUARA PEMBACA

Kekerasan dalam Pacaran

Kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) kembali mencuat ke permukaan setelah seorang perempuan tewas akibat dibunuh mantan kekasihnya dengan menggunakan kloset bekas. Korban yang merupakan mahasiswi di Kabupaten Pandeglang ini, pada Rabu (8/2/2023), diduga sempat terlibat cekcok hingga akhirnya sang mantan menghabisi nyawanya. (Kompas.com, 18/2/2023)

Fenomena ini tentu sangat mengejutkan. Sebab selama ini kita hanya mengetahui adanya kasus-kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Tapi ternyata ketika melihat datanya, kasus KDP pun banyak terjadi. Dan ini menimpa pada pasangan yang belum menikah. Tidak bisa kita pandang sebelah mata, karena 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan seksual (WHO, 2010).

Bahkan 1 dari 4 perempuan di negara maju juga mengalami kekerasan hingga mencapai 25%. Di  negara-negara Afrika dan Asia, tingkat kekerasan terhadap perempuan paling tinggi yaitu sekitar 37%. Hal ini menggambarkan bahwa kasus tersebut sudah sangat serius dan harus segera ditangani. Namun sayangnya kondisi yang mengenaskan ini, hanya dipandang sebagai sebab terhambatnya perempuan  dalam berpartisipasi pada pembangunan.

Melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, diperoleh hasil sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%.

Bahkan Simfoni PPA  (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan, sebanyak 2.090 adalah pacar atau teman. Kekerasan dalam pacaran atau dating violence terjadi, ketikaterdapat pelanggaran pada batasan fisik dan emosional yang ditetapkan pasangannya.

Sekularisme Melahirkan Keburukan

Kasus KDP adalah buah diterapkannya sekularisme. Tanpa panduan Allah subhaanahu wa ta’ala, manusia bebas beraktivitas. Negara juga tidak melakukan penjagaan, dan membiarkan media sosial tanpa arahan yang jelas. Maka masuklah pornografi dan pornoaksi dengan leluasa, ke dalam kehidupan pribadi. Alhasil fokus perhatian umat juga akan bergeser, dari yang semula membangun peradaban, kepada pemuasan naluri berkasih sayang (gharizah nau’) saja.

Syahwat diumbar bahkan dijadikan sebagai komoditi yang menghasilkan uang. Materi menjadi tujuan bagi masyarakat yang berada dalam pola asuh sekularisme. Legalisasi tayangan merusak dibiarkan, serta halal haram tidak dijadikan sebagai tolok ukur aktivitas, membuat keseharian umat hanya berada dalam lingkaran semu. Tak ayal masyarakat tidak mampu lagi berpikir produktif, karena jauh dari syariat.

Solusi Islam

Hal semacam ini tentu tidak masuk dalam logika Islam. Yang berhak menentukan peran seorang ayah, ibu, suami, isteri, adalah Allah, bukan manusia. Dan semuanya terikat dengan batasan-batasan yang ditetapkan syariat. Setiap manusia bertanggung jawab terhadap perannya masing-masing, terhadap Allah. Ketika semua ini dilaksanakan semata dengan ketaatan pada Allah, maka kehidupan umat akan berjalan dengan baik.

Islam menghalalkan pasangan melalui ikatan pernikahan. Sedangkan aktivitas pacaran akan muncul syahwat melalui pandangan, kontak fisik, berduaan, komunikasi yang intens dan sebagainya, karenanya  diharamkan dalam Islam. Kehidupan pria dan wanita terpisah, tidak bercampur antara satu dengan lainnya kecuali untuk perkara-perkara yang dibolehkan Syara’.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button