“Kelompok Nasi Bungkus” dan Perjuangan Masyumi
Mohammad Suleman, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP. Beliau biasa menginformasikan perkembangan di DPR setiap rapat Kelompok Nasi Bungkus. Abjan Sulemen, perwira tinggi AD, abang pak Suleman mengisahkan, bagaimana proses penghancuran DI/TII di Jawa Barat. Menurutnya, guna menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap Kartosuwiryo, PKI selundupkan anggotanya ke tentara DI/TII. Mereka inilah yang membakar rumah penduduk dan melecehkan perempuan. Pola tersebut berhasil mengadu-domba penduduk dengan anggota Kartosuwiryo. Hasilnya, terbentuk pagar betis masyarakat dengan TNI sehingga Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Padahal, menurut Pak Burhanuddin Harahap, gerakan Kartosuwiryo atas sepengetahuan Mohammad Hatta sebagai gerakan psywar ke Belanda ketika ibu kota harus pindah ke Yogya.
AM Luthfi, sejatinya bukan aktivis Islam. Beliau tidak aktif dalam organisasi mahasiswa Islam, baik PII, HMI, GPII, SEMMI, IMM maupun PMII. Namun, sebagai arsitek, beliau aktif bersama Prof. Sadli (pencipta lambang HMI), pak Nukman, dan bang Imadudin dalam membangun masjid Salman, ITB. Keterlibatan inilah yang membuat pak Luthfi aktif dengan tokoh-tokoh Masyumi. Bahkan beliau pula yang menjadi arsitek masjid Al Furqon, DDII. Keterlibatan itulah mengapa di perusahaannya, banyak anggota atau kader PII yang menjadi karyawan. Pada masa reformasi, pak Luthfi menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PAN.
Generasi ketiga di Kelompok Nasi Bungkus adalah Edang Jauhari, Husein Umar, dan saya sendiri. Endang Jauhari mewakili Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Husein Umar mewakili Pelajar Islam Indonesia (PII). Sebab, selain sebagai mantan Ketua Umum PB PII, beliau juga merupakan pegawai aktif DDII.
Saya dipilih menjadi representasi HMI, kabarnya karena pimpinan-pimpinan sebelumnya dianggap berseberangan dengan DDII. Apalagi, Nurcholis Majid yang dianggap membawa pemikiran sekuler di internal HMI. Pemikiran beliaulah yang mengakibatkan Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Sebab, hampir 90 persen alumni HMI menjadi pengurus dan anggota Golkar dan membenarkan pelbagai kasus penipuan dalam enam kali Pemilu.
Aktivitas Kelompok Nasi Bungkus
Pimpinan resmi Kelompok Nasi Bungkus adalah Anwar Harjono. Namun, rapat selalu dipimpin Mohammad Suleman. Pertemuan kali kedua yang kuikuti, saya ditunjuk menjadi Sekretaris Forum. Tugasku, melaporkan perkembangan gerakan umat Islam, khususnya generasi muda, sekali sejumat.
Target utama kelompok ini, penyamaan persepsi para tokoh Masyumi dan kader-kadernya tentang hakikat perjuangan umat Islam Indonesia melalui Masyumi. Target itu dicapai melalui dua strategi besar.
Pertama, mengoptimalkan kinerja DDII melalui fungsionalisasi masjid, kampus, dan pesantren. Kedua, keaktifan tokoh-tokoh Masyumi dan para kader dalam mengawal roda pemerintahan, membangun soliditas umat Islam dalam menghadapi gerakan deislamisasi, dan pembentukan unit-unit gerakan secara spesifik.
Menghadapi kebrutalan pemerintahan Orde Baru, salah satu kegiatan Kelompok Nasi Bungkus adalah bersama sejumlah tokoh bangsa, mengoreksi penyimpangan Pancasila oleh Soeharto dengan gagasan Asas Tunggal. Gagasan ini menelorkan konsep Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Lahirlah Kelompok yang disebut Petisi 50. Anggotanya terdiri dari beberapa jenderal purnawirawan, mantan PM, mantan menteri dan anggota legislatif, pengacara, pimpinan ormas, dan aktivis kampus. Semua tokoh Masyumi, kecuali Pak Roem, ikut tanda tangan Petisi 50. Abah Natsir yang pimpin Petisi 50 melakukan rapat kerja dengan DPR-RI.
Lanjutannya, atas inisiatif Forum Ukhuwah Generasi Muda Islam, tokoh-tokoh Masyumi, NU, Muhammadiyah, Persis, Syarikat Islam, Perti, Al Irsyad dan lain-lain menerbitkan pernyataan penolakan konsep Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan di SD sampai dengan SMU. PMP sebagai salah satu produk P4 merupakan proses pendangkalan akidah murid-murid sekolah.