Keluarga Bahagia dengan Syariah
Sudah jatuh tertimpa tangga. Kondisi inilah yang dihadapi umat dalam sistem sekuler demokrasi hari ini. Berbagai persoalan membelenggu dan melilit baik di bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Beban hidup semakin tinggi, pekerjaan sulit dicari, banyaknya pengangguran, kriminalisasi merajalela, hingga akhlak dan akidah umat yang tidak terjaga dalam ketaatan kepada Allah SWT. Akhirnya banyak kasus umat muslim melangkah tidak sesuai dengan aturan Allah SWT sebagai Zat pemberi kehidupan.
Kasus-kasus yang mengemuka di media massa berikut sebagai buktinya. Misalnya menghadapi ekonomi sulit para korban PHK nekat mencuri bahkan membunuh; nafkah yang tidak terpenuhi di masa pandemi menyebabkan tingginya istri gugat cerai suami; depresi khawatir terpapar Covid-19, mengambil jalan pintas dengan bunuh diri; Ketidaksabaran orang tua dalam membimbing anak belajar online, picu kekerasan fisik psikis pada anak, bahkan ada yang tega membunuh anak kandungnya sendiri; konten pornografi anak meningkat tajam selama pandemi, korban predator seksual anak bertambah; dan lain sebagainya.
Berbagai kasus individual di atas diperparah dengan absennya peran Negara dalam pengurusan urusan rakyat. Tidak dapat dipungkiri, rakyat harus berjuang sendiri menghadapi pandemi. Mandiri dalam biaya kesehatan yang terus naik. Banting tulang sendiri menghadapi ekonomi yang sulit. Termasuk menjaga nyawa sendiri karena kritisnya jaminan keamanan dengan merajalelanya kriminalisasi. Negara hanya hadir saat menarik pajak dari rakyat dan kampanye pesta demokrasi. Wajar muncul ungkapan ada dan tiadanya Negara sama saja.
Berbagai kasus di atas menggambarkan bahwa sebenarnya rakyat dan Negara sedang ‘sakit’. ‘Sakit’ nya rakyat dan Negara berkolaborasi satu sama lain melahirkan benang kusut persoalan. Benteng pertahanan iman dan taqwa individu rakyat lemah. Tatanan kehidupan keluarga tidak dilandasi dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Halal haram tidak menjadi standar. Akhirnya individu muslim dalam lingkup keluarga tidak mampu menghadapi persoalan dan beban hidup dengan benar. Menyelesaikannya dengan nafsu dan berlepas diri dari hukum syara’. Tentu saja hal seperti ini tidak membawa kebahagiaan atau kemashlahatan. Justru membawa kesengsaraan, penderitaan bahkan menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Gempuran liberalisme sekulerisme dalam ruang publik semakin menggerus keimanan dan takwa ini. Negara menjadikan keimanan dan ketaqwaan rakyat hanya masalah privat. Pun jika ada pelajaran agama atau pembinaan spiritual mental dalam sistem pendidikan nasional, hanya terkait ibadah ritual dan akhlak. Aturan agama yang mengatur ruang publik ‘diamputasi’. Apabila ada individu/keluarga muslim yang taat dan menyerukan syariat Islam kaaffah malah ‘dipersekusi’ atau didiskreditkan dengan cap radikal atau intoleran. Apalagi pengurusan ruang publik (ekonomi, hukum, sosial budaya, pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya) oleh Negara dilakukan secara sekuler dengan asas materi atau kepentingan. Akhirnya rakyat yang selalu menjadi obyek penderita. Baik ketika pelayanan Negara yang abai rakyat dan lebih berpihak ke pemilik modal. Atau pun ketika ‘ketidakmampuan’ pelayanan Negara yang berakibat pada masalah sosial masyarakat yang sistemik.
Jadi berbagai persoalan yang membelenggu keluarga muslim hari ini, hakikatnya bukanlah persoalan radikalisme. Tapi pangkal persoalannya karena aturan kehidupan Allah SWT yang tidak diterapkan dalam kehidupan publik. Yaitu diterapkannya sistem kehidupan sekuler demokrasi.