SUARA PEMBACA

Kembalikan Ibu pada Fitrahnya

22 Desember, dunia mengenalnya sebagai Hari Ibu. Serangkaian seremonial digelar untuk memperingati Hari Ibu.

Namun banyak yang melupakan bahwa yang dibutuhkan ibu hari ini bukan hanya ucapan “ selamat hari ibu”. Yang dibutuhkan ibu hari ini adalah bagaimana mereka bisa kembali pada fitrahnya sebagai seorang ibu, yakni menjadi ummu wa robbatul bayt (Ibu dan pengatur urusan rumah tangga). Yang mereka berada di rumahnya masing-masing untuk menjadi pendidik dan penjaga anak-anak serta harta suaminya. Bukan malah sebaliknya, mereka harus keluar rumah berpeluh keringat dan berjibaku dengan debu jalanan demi sesuap nasi. Bahkan mereka harus meninggalkan keluarganya bertahun tahun di negeri orang hanya karena menopang ekonomi keluarga. Kini, fitrah ibu yang harusnya menjadi tulang rusuk, telah berganti menjadi tulang punggung.

Selain karena kemiskinan dan kesejahteraan susah didapat di negeri ini. Ide gender (kesetaraan laki-laki dan perempuan) pun juga turut berkontribusi menyeret kaum Ibu keluar dari fitrahnya. Mengapa Ibu hari ini mau tidak mau harus keluar rumah menopang ekonomi keluarga ? Bukan karena para suami mereka tidak mau bekerja, tapi lebih dikarenakan gaji yang didapatkan suami mereka tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Akhirnya mereka terpaksa keluar rumah dan di luar rumah sudah ada segudang lapangan pekerjaan yang banyak menanti untuk kaum ibu bukan kaum bapak, sebagai efek dari ide gender yang diadopsi di negeri ini.

Sebenarnya negeri ini adalah negari yang sangat kaya raya, hanya saja sistem pengelolaan perekonomian negeri ini menggunakan sistem kapitalisme yang menghendaki seluruh kekayaan alam di kuasai oleh kaum swasta atau kaum pemodal, sehingga jika kekayaan alam tadi negara tidak mampu untuk mengelolanya maka siapapun yang memiliki modal berhak untuk mengelolanya. Pemerintah yang tidak amanah berseteru dengan pemodal untuk menyerahkan potensi alam tadi. Sehingga kekayaan negara hanya dikuasi segelintir elite dan tidak dirasakan oleh masyarakat. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, sistem kapitalisme yang dianut negeri inilah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan, sehingga menyeret kaum ibu untuk menjadi penopang ekonomi keluarga. Sehingga negara yang seharusnya berkewajiban menjamin kebutuhan pokok masyarakat seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja keadilan dan keamanan. Kini, kewajibannya beralih pada individu masyarakatnya.

Sebenarnya Islam memandang bahwa peran utama perempuan adalah sebagai ibu pengatur rumah tangga dan pengasuh anak-anak, sedangkan peran laki-laki adalah sebagai penjaga dan pencari nafkah bagi keluarga.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS An-Nisa: 34]

Nabi Saw berkata, “Masing-masing dari kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas mereka yang berada di bawah kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah seorang pemimpin; seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya; seorang perempuan adalah pemimpin rumah dan anak suaminya … ”(HR Bukhari dan Muslim)

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” [QS Al-Baqarah: 233]

Dan Islam dengan sistem Khilafahnya telah membuktikan bahwa negaralah yang akan menjaga peran laki-laki dan perempuan yang telah didefinisikan Islam dalam kehidupan keluarga, dan mengangkat status penting perempuan sebagai istri dan ibu dengan jaminan penyediaan nafkah bagi perempuan sehingga mereka tidak ditekan untuk mencari nafkah dan mengganggu tugas-tugas penting mereka terhadap anak-anak dan keluarga mereka. Sebagai contoh, jika seorang perempuan tidak memiliki kerabat laki-laki yang mendukungnya, maka di bawah Islam, negara berkewajiban menyediakannya. Oleh karena itu hukum Islam yang dilaksanakan di bawah Khilafah mendukung para ibu dalam memenuhi kewajiban vital mereka yaitu merawat dan membesarkan anak-anak mereka serta menjaga rumah mereka. Mereka juga menjamin keamanan finansial bagi perempuan dan memastikan bahwa mereka tidak pernah ditinggalkan untuk mengurus diri mereka sendiri dan anak-anak mereka, atau dibiarkan menderita kesulitan keuangan.

Nabi Saw bersabda, “Jika seseorang meninggal (di antara kaum Muslim) meninggalkan beberapa harta, harta tersebut akan diserahkan kepada ahli warisnya; dan jika dia meninggalkan hutang atau tanggungan, kami akan mengurusnya.” (HR Muslim)

Sebagai bukti bahwa jika suami atau ahli waris tidak mampu memberi nafkah, maka negaralah yang akan turun tangan. Adalah Catatan peradilan dari Khilafah Utsmaniyah menunjukkan bahwa laki-laki terikat secara hukum untuk secara finansial memelihara istri dan anak-anak mereka. Jika mereka menolak, maka sang istri bisa mengajukan keluhan ke pengadilan dan hakim akan memaksakan pemberian nafkah. Ini termasuk menyediakan bagi suami mereka harta untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang biasa mereka pakai. Istri yang ditinggalkan dapat mengklaim tunjangan hidup bagi dirinya dan anak-anaknya dari setiap bagian kekayaan atau peninggalan suami mereka. Mereka juga dapat meminta pengadilan untuk meminta pinjaman atas nama suami mereka, dimana istri akan didukung dan bahwa suami bertanggung jawab atas hal itu. Ini adalah contoh dari satu kasus seperti itu dari catatan pengadilan kota Kayseri pada masa Khilafah Utsmaniyah:

“Cennet Ana binti Sheik Mehmet Effendi mengajukan klaim: Saya adalah istri Abdul-Fettah bin Abdul-Kadir dari Gulluk Mahalle (berdekatan), yang telah pergi untuk waktu yang lama. Saya ingin tunjangan pemeliharaan. Cennet Ana diminta untuk mengambil sumpah yang tidak diberikan suaminya untuknya. Kemudian dia diberikan lima belas akce per hari dan izin untuk mencari pinjaman.” (Kayseri mencatat pada 1034 AH)

Sungguh, Islam memiliki pandangan yang tak tertandingi tentang pentingnya peran keibuan, disertai dengan sejumlah hukum dan tugas yang ditentukan pada laki-laki dan perempuan untuk memastikan bahwa semua hal itu dilindungi dan didukung juga oleh negara. Oleh karena itu, hanya sistem yang menerapkan Islam secara komprehensiflah yang akan mengembalikan status besar yang layak dimiliki ibu dalam suatu masyarakat dan mengembalikan Ibu pada fitrahnya.

Irma Setyawati, S.Pd
(Aktivis Perempuan Pasuruan)

Artikel Terkait

Back to top button