RESONANSI

Kendaraan Dakwah

Tak hanya sampai diseitu, perjalanan dia terus berlanjut sampai ke negeri yang paling timur dari negeri-negeri timur yang ada di negara itu, perjalanan menuju negeri itu lalu ia gambarkan dengan sangat baik kepada kita, katanya dalam tulisan itu.

“Sedikit lagi ke negeri yang paling timur, di mana Matahari di terbitkan dan orang-orangnya sama seperti yang dijumpai Dzulqarnain, manusianya belum tertutup aurat-auratnya dengan sempurna maka ku namai negeri itu dengan nama Jaziratul Uryan (Papua).”

Kisah-kisah perjalanan sang Batuta kemudian dijadikan satu map dakwah, setelah mendapatkan info ini maka di utuslah para mubaligh untuk menyiarkan dakwah, yang dikirim juga adalah orang-orang yang memang berbeda-beda keahliannya, bahkan dengan keahliannya itulah dakwah mereka bisa menyentuh mereka yang dari mulai abangan sampai mereka yang priyayi.

Duta-duta dakwah ini memiliki keahlian yang berbeda-beda, Maulana Malik Ibrahim ahli dalam irigasi, Maulana Magribi I ahli dalam ruqyah, Maulana Ahmad Jumadil Qubro naik gunung dakwahi masyarakat yang masih sering melakukan kesyirikan, dua bersaudara yakni Maulana Aliyudin dan Taqiyuddin dakwah di pelabuhan, Maulana Ali Rahmatullah mendirikan pendidikan di Ampeldenta, Sunan Ngudung dan Maulana Ja’far pada bagian keprajuritan sementara Sunan Kalijaga mengambil budaya sebagai sarana untuk berdakwah.

Lihat, sarana mereka boleh berbeda, tapi tujuannya itu sama, sama-sama ingin mengajak orang untuk masuk Islam dan apa yang dilakukan mereka itu berhasil sampai hari ini, buktinya umat Islam menjadi mayoritas di negeri ini dan itu mereka lakukan tanpa ada sentimen saling salah menyalahkan.

Tidak seperti hari ini, yang terjadi saat ini kita saling ribut hanya soal berbeda harakah, padahal harakah itu hanya kendaraan, ibarat kata kita mau ke masjid, kebetulan masjidnya lumayan jauh ada yang ke sana jalan kaki ada juga yang makai sepeda, yang jalan kaki ya sudah jalan kaki yang naik sepeda ya sudah naik sepeda, tidak harus yang jalan kaki menyalahkan yang bersepeda yang bersepda juga tidak harus meledek yang jalan kaki toh tujuan akhir juga sama, sampai di masjid juga bakalan ketemu.

Parahnya kalau sama-sama ngotot saling ngeledek justru yang ketawa nanti yang tidak ke masjid, sudah tidak ke masjid ketemu orang yang berantem hanya gegara ingin ke masjid buat shalat, ujungnya dia sendiri yang bersyukur, “Untung ya, saya tidak shalat.” Yang malu siapa? Sudah pasti dua orang yang berantem hanya ingin ke masjid itu.

Jadi sudahlah ini hanya masalah kendaraan dan metode doang, kenapa ada Muhammadiyah dan NU? Sebab ladang dakwahnya berbeda sudah pasti harus menggunakan metode yang berbeda, orang desa itu suka sama tradisi desa, biar dakwahnya masuk maka NU yang bermain di sana dengan model tahlilan, yasinan dan lain-lain, lagi-lagi ini soal metode dakwah pendekatan Muhammadiyah agak sukar dipakai untuk mendekati teman-teman di pedesaan, makanya NU hadir untuk mengimbangi dakwah yang dibuat Muhammadiyah di kota.

Begitu juga NU susah dipakai untuk orang kota, sebab itu Muhammadiyah hadir dengan metode pendekatan yang berbeda yakni jalur pendidikan agar dekat dengan orang kota dan kita bisa lihat strategi dakwah yang dipakai dua harakah besar ini sangat baik sampai hari ini, jadi ini hanya soal strategi dakwah saja.

Jangan karena berbeda jadi saling jatuh menjatuhkan, Islam ini besar karena bersama dan bisa hilang karena saling meruncingkan perbedaan, perbedaan yang kecil di buat jadi besar perbedaan yang besar ya justru di besar-besarkan lagi, tidak. Kita tidak mau agama yang sudah besar ini justru hilang hanya karena perbedaan yang setitik. Semua harakah itu sama baiknya maka seharusnya baik juga untuk melihat keadaan umat dan apa yang harus dilakukan, gitu aja sih tulisan hari ini. []

Jundullah Fawwas

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button