OPINI

Kepulangan Imam Besar Versus Kepanikan Rezim

Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS) telah mengabarkan tentang keputusan pencabutan larangan keluar dirinya dari otoritas Kerajaan Arab Saudi. Hal tersebut disampaikan secara resmi oleh Ketum FPI KH Shabri Lubis saat aksi menolak UU Cilaka, Selasa 13 Oktober 2020.

Di sisi lain, pihak pemerintah melalui Jubir Kemlu menyatakan akan mencari tahu, menelusuri lebih lanjut kabar tersebut. Kondisi demikian tentunya menimbulkan kontradiksi. Dipertanyakan, mengapa ketika IB HRS dicegah keluar oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi, pihak Kemlu tidak melakukan upaya mencari tahu dan kemudian melakukan pendampingan serta pembantuan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.

Masih terekam dalam ingatan ketika Menlu Retno mengambil posisi ‘tutup mulut’. Publik sampai saat ini tidak mengetahui apa pembicaraannya dengan Komisi I DPR RI setahun yang lalu. Begitupun tentang negosiasi antar pejabat tinggi pemerintah Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tidak ada keterbukaan informasi publik.

Tidak dapat ditafsirkan lain, bahwa negosiasi tersebut menunjuk pertanggungjawaban bersama kedua negara atas status pencegahan keluar IB HRS. Disini tidak mungkin Essam bin Abed Al-Thaqaf selaku Dubes Kerajaan Arab Saudi menyampaikan perihal negosiasi apabila tidak ada keterkaitannya dengan pihak pemerintah Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri pencegahan demikian berujung ‘pengasingan politik’ yang dikehendaki. Bermula adanya tindakan intelijen politik yang mengarahkan terciptanya rekayasa dalam pencegahan keluar. Tindakan demikian berkorespondensi dengan kepentingan Pilpres 2019 yang lalu. Kesemuanya itu, dalam banyak kesempatan telah penulis sampaikan secara argumentatif.

Tidak ketinggalan Dubes Agus Maftuh turut memberikan komentar dengan memberikan penjelasan teknis prosedural larangan exit sebab ‘overstay’ dengan berbagai dampak turunannya. Pernyataan tersebut patut untuk disangkal, tidak benar IB HRS mengalami ‘overstay’ dan oleh karena itu menjadi tanggungjawabnya pribadi. Agus Maftuh sebenarnya hendak mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab. Pernyataan demikian tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, ‘berkelebihan’ atau ‘tidak lengkap’.

Overstay tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan larangan keluar yang telah direkayasa sedemikian rupa. Dengan demikian keduanya berpasangan, tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Tegasnya, larangan keluar itulah yang melahirkan overstay. Seandainya tidak ada larangan keluar, pastinya tidak akan pernah ada overstay.

Kesemua pernyataan Agus Maftuh menjadi tidak bermakna, ketika pemerintah Kerajaan Arab Saudi memutuskan pencabutan larangan keluar. Logika sederhananya, jika IB HRS memang benar berstatus overstay, maka dirinya berstatus ‘deteni’ dan dimasukkan dalam rumah ‘detensi’ (karantina) imigrasi Kerajaan Arab Saudi untuk kemudian segera dipulangkan. Faktanya, tidak pernah pemerintah Kerajaan Arab Saudi menerapkan hal tersebut.

Ketika status larangan dicabut, maka selesai pula status pengasingan politik. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa IB HRS tidak berstatus overstay dan bahkan menjadi petunjuk larangan keluar didasarkan atas permintaan pihak Indonesia.

IB HRS demikian konsisten terhadap sumpahnya tidak akan meminta bantuan rezim. Sikap tersebut telah dibuktikannya. Konsistensi sangat dekat dengan kejujuran. Tanpa ada sikap konsisten niscaya tidak akan ada kepercayaan. Sementara, dalam penyelenggaraan negara saat ini, sikap konsisten ternyata sangat langka dan boleh dibilang tidak ada. Upaya mencari tahu tentang pencabutan larangan exit dengan berbagai pernyataan yang disampaikan menunjukkan juga sikap inkonsistensi. Sikap tersebut sebenarnya menunjukkan kepanikan. Kepanikan dimaksud merupakan akumulasi perasaan kolektif penguasa dan penerima manfaat kekuasaan. Kepanikan kolektif yang terjadi secara berkelanjutan akan bermuara kepada ketidakseimbangan dan keterpurukan. Rakyat kini sudah semakin cerdas untuk menilai. Terpuruknya elit bukan masalah bagi rakyat. Rakyat mempermasalahkan keterpurukan dan kesulitan hidup sebab banyak kebijakan yang mudharat. Rakyat menanti kembalinya IB HRS guna perjuangan bersama menyingkirkan berbagai mudharat yang telah menyengsarakan hajat hidup rakyat.

Penulis yakin, haqul yakin, kepulangan IB HRS adalah siasat Allah Yang Maha Kuat agar rakyat kuat, rakyat berdaulat dan NKRI selamat. Wallahu ‘alam.

Jakarta 14 Oktober 2020

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., MH.
(Direktur HRS Center)

Artikel Terkait

Back to top button