OPINI

Kerja Sama Vaksin, Jangan Melulu Soal Untung atau Rugi

Vaksin Covid-19 Sinovac resmi diuji klinis di Indonesia. Uji klinis fase ketiga ini ditandai dengan peninjauan fasilitas dan kapasitas produksi di Bio Farma oleh Presiden Jokowi pada Selasa (11/8). Presiden juga menyaksikan secara langsung penyuntikan perdana 20 relawan uji klinis vaksin Covid-19 di Fakultas Kedokteran Unpad Kota Bandung, Jawa Barat. (republika.co.id, 11/8/2020).

Diketahui publik, Indonesia menjalin kerja sama dengan Sinovac lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kesehatan, PT Bio Farma (Persero). Diungkap Sekretaris Perusahaan Bio Farma, Bambang Heriyanto, alasan memilih vaksin Covid-19 buatan Sinovac Biotech untuk diujicobakan di Indonesia, salah satunya adalah perusahaan asal China tersebut merupakan partner Bio Farma dalam melakukan pengembangan berbagai vaksin.

Menurut Bambang, kerja sama ini akan menguntungkan Indonesia. Selain ada transfer teknologi yang dilakukan Sinovac kepada Bio Farma. Uji coba ini disebut juga bakal memberi informasi terkait respons vaksin pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, kecocokan vaksin bakal dapat diketahui ketimbang membeli vaksin dari luar yang belum diuji di Indonesia. (kompas.com, 24/7/2020). Namun, benarkah demikian?

Penemuan vaksin Covid-19 seolah menjadi harapan baru di tengah kondisi pandemik yang kian kritis. Sekilas tampak meyakinkan, bahwa kerja sama ini semata-mata demi kepentingan masyarakat. Namun, kita juga tidak menutup mata bahwa penemuan vaksin Covid-19 juga menjadi lahan basah bagi kapitalis.

Aspek keuntungan yang ditonjolkan pemerintah dalam kerjasama ini patut mendapatkan perhatian. Jangan sampai kerja sama ini berujung business to business, yang memonopoli kepentingan umum demi keuntungan segelintir pihak. Dikhawatirkan, rakyat lagi-lagi yang dirugikan.

Terlalu prematur juga jika Presiden Jokowi menjanjikan akan memproduksi kurang lebih 100 juta vaksin pada Agustus dan meningkat menjadi 250 juta vaksin pada akhir tahun ini. (cnbcindonesia.com, 12/8/2020). Serta akan diberikan pada masyarakat pada Januari 2021. (kompas.com, 11/8/2020). Mengingat vaksin belum selesai diujicobakan. Keamanan dan kelayakan vaksin ini pun perlu bukti.

Belum lagi transfer teknologi yang dijanjikan juga patut dipandang pesimis. Mengingat, Bambang Heriyanto menyebut kerja sama ini dimulai dari downstream. Bahan aktif pun masih diperoleh dari produsen vaksin ini. (kompas.com, 24/7/2020). Head of Corporate Communication PT Bio Farma, Iwan Setiawan juga enggan menegaskan kepada siapa hak paten vaksin ini akan diserahkan. Mengingat, pengembangan vaksin COVID-19 dengan Sinovac ini sifatnya kerja sama. (detik.com, 23/7/20209).

Dalam naungan kapitalisme, pandemik pun bisa jadi duit. Tidak hanya alat kesehatan, rapit test dan swab test yang nyata dikomersialisasi. Bisnis vaksin Covid-19 pun diprediksi segera menjadi sumber keuntungan baru bagi para kapitalis yang bergerak dalam bidang farmasi.

Mirisnya, negara pun ikut ambil bagian dalam bisnis vaksin ini. Sebab dalam paradigma kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan kapitalis global. Sementara urusan rakyat diurus berdasarkan untung dan rugi.

Jadi, jangan heran bila dikemudian hari, vaksin Covid-19 tidak diperoleh secara gratis. Sebaliknya, negara dapat menjual vaksin dengan harga tinggi, demi keuntungan segelintir pihak. Ya, sebab belum juga uji klinis terbukti berhasil. Bio Farma sudah membuat taksiran harga jual vaksin ini, dengan harga berkisar antara US$ 5-US$ 10 atau setara dengan Rp 73.000-Rp 146.000 (asumsi kurs Rp 14.600/US$) per dosisnya ketika sudah dilempar ke pasar. (cnbcindonesia.com, 21/8/2020).

Sedihnya, jika vaksinasi Covid-19 ini diwajibkan negara. Dapat dibayangkan, beban ekonomi rakyat akan bertambah berat tahun depan. Sebab boro-boro memikirkan vaksinasi demi antisipasi, untuk makan sehari-hari saja sudah demikian sulit. Jelas, rakyat tidak hanya depresi dihantam resesi ekonomi, rakyat pun akan dibuat pusing mencari duit untuk vaksinasi.

Selain itu, kerja sama vaksin dengan asing, tidak hanya membuat negeri ini tidak berdikari. Namun juga membuat negeri ini terus-terusan berada di bawah kontrol hegemoni kapitalis. Padahal potensi SDM dan SDA negeri ini sangat luar biasa melimpah dan berpotensi. Alih-alih menjalin kerja sama dengan asing, alangkah lebih baik dan bijaksana bila mendukung penelitian individu dan institusi dalam negeri.

Pengurusan hajat hidup rakyat berdasarkan faktor keuntungan, jelas tidak ditemui dalam Islam. Paradigma Islam memandang bahwa hajat hidup rakyat menjadi kewajiban negara untuk mengurusnya. Kemaslahatan dan kepentingan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam mengambil segala kebijakan negara.

Di masa pandemik, tidak hanya cepat, tegas dan tepat dalam mengambil langkah kuratif. Negara juga harus cepat, tegas dan tepat dalam mengambil langkah preventif. Penemuan dan pengembangan antivirus dan vaksin dilakukan dalam rangka mendapatkan obat yang tepat bagi rakyat. Tentunya, dengan memfokuskan pada aspek kelayakan dan keamanan, bukan pada aspek ekonomis.

Untuk itu, negara membuka kesempatan dan dukungan sebesar-besarnya bagi upaya para ilmuwan secara universal dalam rangka penemuan vaksin. Dukungan ini tidak hanya pada dana saja, tapi juga pada fasilitas dan kemudahan dalam mengakses informasi dan pencarian bahan penelitian.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana luar biasanya dukungan Sultan Abdul Hamid pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah pada setiap individu dan institusi, yang melakukan penelitian dan penemuan yang menguntungkan umat manusia. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan di luar negerinya.

Ahli Kimia dari Paris, Louis Pasteur, penemu metode pengobatan rabies, mendapat apresiasi dan dukungan dari Sultan Abdul Hamid. Saat semua kepala negara dan otoritas medis di Eropa, tidak mau membantu dan mengabaikan surat permintaan bantuannya. Sultan Abdul Hamid justru membantu Pasteur dengan menawarkan layanan besar bagi kemanusiaan. Sultan memberikan medali prestasi negara tertinggi, yang merupakan penghargaan tertinggi, sebagai hadiah untuk penemuannya dan menyumbang 10 ribu Franc untuk lembaganya. (Majalah Al-Wa’ie edisi Syawal, 1-30 Juni 2020).

Terbukti, hanya dalam naungan sistem Islam yang diterapkan secara kafah dalam bingkai negara, hajat hidup rakyat diurus dan dijaga. Negara tegak demi kemaslahatan dan kepentingan umat. Sebaliknya, selama dalam naungan sistem kapitalisme, hajat hidup rakyat terus-terusan dianiaya dan diperkosa, demi kepentingan para kapitalis dan oligarki. Sebab kemaslahatan dan kepentingan rakyat diukur dari untung-rugi. Jadi, kapan pilih Islam sebagai solusi?

Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan dan Mentor di AMK

Artikel Terkait

Back to top button