Kesempurnaan dan Kemudahan Dinul Islam
Fitrah adalah nurani manusia. Fitrah telah ada jauh sebelum manusia dilahirkan ke dunia. Ketika semua janin ditiupkan roh kepadanya ditanya oleh Allah SWT, sebagaimana terekam dalam Firman-Nya,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (Al-A’raf [7]: 172)
Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah bertuhan, maka hati manusia akan merasa nyaman jika kepadanya disematkan predikat “hamba Allah”. Sebaliknya, ia akan merasa resah, gelisah, bahkan marah jika dikatakan sebagai “hamba dunia”. Ini semua merupakan bukti bahwa pada dasarnya manusia memiliki fitrah bertuhan. Dalam hal ini Islam adalah satu-satunya agama yang senantiasa selaras dengan fitrah manusia. Hal ini sebagaimana dituturkan Al-Qur’an, bahwa esensi penciptaan jin dan manusia adalah untuk menghamba kepada Allah SWT.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyat [51]: 56)
Namun fitrah bertuhan yang ada pada diri manusia tersebut barulah merupakan potensi dasar yang harus terus menerus dipelihara dan dikembangkan. Apabila fitrah tersebut tertutupi oleh faktor-faktor dari luar nuraninya, manusia akan berlari dan menentang fitrahnya sendiri. Tetapi bila dihadapkan pada persoalan-persoalan kehidupan yang rumit dan dia sudah kehilangan daya untuk menghadapinya, barulah secara sepontan fitrah tersebut kembali muncul.
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan. (Yunus [10]: 12)
Selain berhubungan dengan keimanan, fitrah manusia juga berkolerasi dengan segala sesuatu yang menyangkut cara manusia menjalani kehidupannya dengan berpatokan pada pedoman hidup yang telah ditetapkan Allah SWT. Apa yang menurut fitrah manusia itu baik Allah pasti memerintahkannya. Sebaliknya apa yang menurut fitrah manusia itu buruk maka Allah dengan tegas pasti melarangnya. Manusia memiliki fitrah menyukai keindahan. Islam pun mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa keindahan, kebersihan dan kerapian.
Sesungguhnya Allah itu baik, menyukai yang baik-baik. Dia Maha Bersih, menyukai kebersihan. Dia Maha Mulia menyukai kemuliaan. Dia Maha Pemurah menyukai kedermawanan. Karena itu, bersihkanlah tempat-tempatmu. (HR. Baihaqi)
Sebagai agama yang selaras dengan fithrah, Islam sangat memahami kemampuan manusia dalam menunaikan ajaran-ajaran agama. Allah SWT telah menjamin bahwa Dia tidak akan membebani manusia di luar kemampuannya. Karena itu secara kodrati, pada dasarnya manusia mampu menjalankan syariat Islam dengan bekal yang dianugerahkan Allah SWT.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya… (Al-Baqarah [2]: 286)
Salah satu dari kelemah lembutan dan kasih sayang Allah SWT kepada manusia adalah tidak membebani seorang pun melainkan sebatas kemampuannya. Ketika seorang hamba tidak sanggup menunaikan suatu tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah melalui syariat-Nya, hamba tersebut dapat mencari jalan keluar dengan menilik kemudahan yang Allah SWT sediakan di balik syariat tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Islam telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Penetapan lima waktu ini sudah diukur dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Adapun dalam kondisi dimana seseorang tidak mampu menunaikan shalat dengan berdiri karena sakit Allah SWT telah memaklumkan melaksanakannya dengan cara yang lain yang sudah ditentukan. Demikian juga dalam kondisi sakit yang menghalangi seseorang dari prnggunaan air sehingga ia tidak dapat berwudhu, maka dipersilahkan bersuci dengan cara lain yang sudah diatur di dalam syariat.