Keteladanan Nabi Muhammad Saw dalam Mengasuh Anak

Banyak orang tua hari ini mencari panduan parenting dari buku-buku modern atau seminar yang mahal. Namun, sering kali mereka lupa bahwa teladan terbaik dalam mengasuh anak telah hadir 14 abad yang lalu, melalui kehidupan Rasulullah ﷺ seorang ayah, kakek, dan pendidik umat yang kasih sayangnya menembus zaman.
Nabi ﷺ tidak sekadar memberikan perintah kepada anak-anak atau cucunya. Beliau hadir, mendengarkan, menggendong, bermain, bahkan bercanda dengan mereka. Dalam riwayat Muslim, diceritakan bahwa beliau pernah memanjangkan sujudnya hanya karena cucunya, Hasan dan Husain, memanjat punggungnya. Seusai shalat, beliau menjelaskan kepada para sahabat:
“Sesungguhnya anakku ini menaiki punggungku, dan aku tidak ingin memutus kesenangannya.” (HR. Muslim)
Sikap ini bukan hanya bentuk kasih sayang, tetapi juga pelajaran mendalam bahwa dunia anak adalah dunia yang perlu dihargai. Rasulullah ﷺ memahami psikologi anak tanpa harus membaca buku teori perkembangan.
Keteladanan Nabi dalam parenting mencakup tiga aspek penting:
Pertama, kedekatan emosional beliau selalu memanggil anak-anak dengan panggilan yang penuh kasih, seperti Ya Bunayya (wahai anakku sayang).
Kedua, pendidikan melalui teladanbeliau mengajarkan adab makan dengan duduk bersama mereka, mengambil makanan yang terdekat, dan mengucapkan Bismillah
Ketiga, bimbingan spiritual yang lembut beliau mengajarkan doa, dzikir, dan nilai-nilai akhlak tanpa paksaan yang menyakiti hati.
Dalam kehidupan modern, keteladanan ini menjadi pengingat penting. Gawai, pekerjaan, dan kesibukan kerap membuat orang tua hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional. Padahal, satu pelukan hangat atau kata sayang bisa menjadi “modal emosional” yang membuat anak merasa aman, dicintai, dan dihargai.
Keteladanan Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa membentuk anak bukan hanya soal mendidik akalnya, tetapi juga membesarkan hatinya. Sebab hati yang penuh cinta akan lebih mudah menerima nasihat, dan jiwa yang merasa aman akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri.
Maka, jika kita ingin mengasuh anak yang saleh, mulailah dengan meneladani beliau dalam hal yang paling sederhana: hadir dengan hati, bukan sekadar hadir dengan tubuh. Karena pada akhirnya, anak-anak akan lebih mengingat siapa yang benar-benar hadir bagi mereka, bukan siapa yang paling banyak memberi perintah.[]
Fakhurrazi Al Kadrie, Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.