Ketenangan Hati Menurut Al-Qur’an

Sedangkan menurut Al-Baidhowi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, ketenangan hati lahir dari kedekatan dan pengharapan kepada Allah, baik setelah rasa takut, melalui penghayatan terhadap keesaan dan rahmat-Nya, atau melalui perenungan terhadap firman-Nya, yakni Al-Qur’an.
Zikir menjadi jalan utama untuk meraih ketenangan karena ia mempererat hubungan antara hamba dan Tuhannya. Dengan demikian, ketenteraman hati adalah hasil dari keimanan yang mantap dan sandaran batin yang utuh kepada Allah.
Kemudian dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menegaskan bahwa ketenangan adalah hasil langsung dari iman yang melahirkan zikir, dan zikir yang mengusir kecemasan serta berbagai gangguan batin. Ketenteraman hati, menurutnya, adalah fondasi bagi kesehatan jiwa dan raga. Ia juga mengaitkan hal ini dengan tahapan jiwa dalam Al-Qur’an: dari nafsu yang cenderung pada kejahatan (ammarah), menuju penyesalan (lawwamah), hingga mencapai ketenangan sejati (muthmainnah). Ketenangan inilah yang menjadi puncak kedewasaan spiritual, dan hanya dapat dicapai dengan iman yang mendalam dan zikir yang terus-menerus kepada Allah.
Melalui QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28 ini terdapat hikmah yang bisa diimplemenatsikan dalam kehidupan yaitu ketenangan bukan sekadar rasa nyaman emosional, melainkan kondisi batin yang stabil, mendalam, dan bersumber dari keimanan yang kuat serta hubungan spiritual yang erat dengan Allah melalui zikir.
Zikir, dalam bentuk mengingat, menyebut, atau merenungi kebesaran dan kasih sayang Allah, menjadi sarana utama yang menautkan hati manusia dengan sumber kedamaian sejati.
Ketenangan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan buah dari keyakinan yang mendalam terhadap kebenaran wahyu, kesadaran atas kasih sayang Ilahi, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada takdir Allah.
Maka, ketenangan hati yang dijelaskan oleh para mufassir adalah hasil dari perpaduan iman yang kokoh, kesadaran batin, dan kedekatan spiritual yang intens dengan Allah.[]
Tirta Rizki Ramadhan, Mahasiswa PTIQ Jakarta.