Ketenangan Hati Menurut Al-Qur’an

Kehidupan modern saat ini penuh dengan kesibukan, tuntutan pekerjaan, kesenangan yang semu, dan kompleknya permasalahan. Hal ini menimbulkan rasa cemas, gelisah, hingga strees yang menyebabkan seseorang kehilangan ketenangan dalam hidupnya.
Namun, hidup yang merasakan ketenangan itulah tujuan yang diharapkan semua jiwa yang ada dalam diri manusia. Jika dicermati, hal ini tentu berlawanan apabila seseorang menjalani kehidupan modern juga dibarengi dengan tujuan mencari ketenangan. Lalu, bagaimana hal tersebut bisa diselaraskan?
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Secara tegas Allah memberikan solusi dalam mengarungi kehidupan modern ini yakni dengan mengingat Allah. Adapun keimanan merupakan langkah awal dalam menggapai ketenangan yang dituju. Sehingga setelah keimanan terhujam kuat dalam hati masing-masing insan dengan dibarengi zikrullah (mengingat Allah), maka permasalahan, kerumitan dan kesulitan yang datang akan dihadapi dengan perasaan tenang dan menghasilkan hidup yang lebih tentram.
Dalam Tafsir Khawatir al-Sha’rawiy Haula Al-Qur’an, Syekh Al-Sya’rawiy menjelaskan bahwa ketenangan hati timbul dari iman yang mantap dan penghayatan terhadap makna zikir, baik melalui bacaan Al-Qur’an, perenungan terhadap peringatan Allah, maupun kesadaran akan karunia-Nya.
Ketenteraman ini tidak muncul secara instan, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan pancaindra, pemikiran logis, hingga menjadi keyakinan yang tertanam dalam jiwa. zikir menghubungkan hati dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak, sehingga seseorang mampu merasakan kedamaian, terutama ketika menghadapi ujian hidup, karena ia yakin bahwa segala sesuatu mengandung hikmah Ilahi.
Tafsir Lathaif al-Isyarat karangan Al-Qusyairi menekankan bahwa zikir tidak hanya menenangkan, tetapi juga memuliakan, karena dalam zikir ada kesadaran bahwa Allah pun sedang mengingat hamba-Nya. Dari kesadaran itulah lahir ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan batin.
Zikir menjadi sumber kehidupan hati, dan jika hati tidak merasakannya, itu merupakan tanda bahwa batin sedang bermasalah. Maka, ketenangan hati adalah cerminan dari kedekatan dengan Allah dan bukti kesehatan rohani seseorang.
Lalu dalam Tafsir Haqaiq at-Tafsir, As-Sulami memaparkan konsep ketenangan hati melalui berbagai level spiritualitas. Bagi kaum awam, ketenangan hadir dari zikir yang disertai syukur atas nikmat lahiriah. Sedangkan bagi golongan khusus, ketenangan bersumber dari akhlak dan sikap pasrah kepada Allah.
Para ulama menemukan ketentraman dalam pengenalan terhadap nama dan sifat-sifat Allah, sementara para ahli tauhid sejati justru merasakan gelisah karena menyadari kebesaran Allah yang melampaui pemahaman mereka.
Dalam tingkatan spiritual tertinggi, ketenangan tidak lagi dinilai dari zikir yang dilakukan, tetapi dari kesadaran bahwa Allah yang mengingat mereka. Namun demikian, para arif memahami bahwa setiap anugerah spiritual bisa menjadi tirai yang menghalangi pandangan langsung kepada Allah, sehingga ketenangan pun dilihat sebagai ujian yang perlu diwaspadai.