Ketersingkiran ‘Quasi’ Kekuasaan Politik Dinasti
PDIP semakin teralienasi. Berkoalisi pun hanya ditemani partai-partai kecil dan gurem: PPP, PSI dan Hanura.
PT 20% itu bagi PDIP yang sekaligus sebagai pemenang Pemilu 2019 tidak menjamin mampu mempertahankan keperkasaannya untuk meraih kemenangan “hattrick” politik itu.
Juga tidak menjamin jika Puan Maharani capresnya, justru PDIP malah semakin terperosok, terbenam loneliness .
Puan Maharani “Sang Putri Mahkota” PDIP sebagai ketua parlemen yang hanya membuat lembaga itu lumpuh seperti “mati suri” dalam peran pengawasan dan pengendalian itu tak pernah terangkat elektabilitasnya. Tersungkur di dasar sumur.
Maka, Ganjar Pranowo juga capres produk “haram” cawe-cawe petugas partai Jokowi menjadi pilihan pengganti alternatif, jika cawapresnya, adalah Puan Maharani, PDIP dan pasangan capres-cawapresnya tetap “tak laku jual”.
Di samping Ganjar, dicitrakan juga sebagai “Gubernur Gagal” memimpin di Jateng hanya menjadikan provinsi termiskin dengan memberikan upah yang paling rendah kepada parah buruh dan pekerjanya di Indonesia.
PDIP, jadilah seperti “mati kutu” menentukan pasangan capres-cawapresnya. Sandiaga Uno yang santer diusung mewakili PPP, adalah partai yang tengah dikudeta oleh akar-akar rumputnya, bayangkan di seluruh Pulau Jawa, sebagai lumbung suara terbesar dan atau utamanya. Akar-akar rumput itu malah hijrah berduyun-duyun mendukung ke Anies-Cak Imin dan KPP.
Demikian juga, jika ada wacana Gibran menjadi cawapresnya Prabowo. Prabowo akan tersungkur. Kenapa?
Prabowo capres sebagai hasil produk “pelanggaran politik” cawe-cawe Jokowi juga, jika memaksakan Gibran sebagai cawapresnya, —sampai harus mengamputasi usia minimum 40 tahun menjadi 35 tahun dengan men-JR ke MK:
Mencitrakan betapa lembaga hukum pencetak produk judisial itu pun, tulen berganti baju quasi kekuasaan menjadi “Makhamah Keluarga”, manut, nunut dan nurut kepada sang kakak ipar padahal itu lembaga strategis dan vital tengah mengemban tugas dan peran penegakkan hukum kenegaraan.
Menambah legacy reputasi di pemerintahan Jokowi yang semakin memburuk, adalah sesungguhnya tindakan “ politik harakiri” bagi Prabowo menuju dasar jurang ketersingkirannya di Pilpres 2024. Melengkapi hattrick kalah politik pencalonan Presidennya.
Meski, di koalisinya, di KIM bergabung dan bercokol partai besar sebagai pemenang kedua Di Pemilu 2019 partai Golkar dan partai menengah PAN, tak bakal berpengaruh mengangkat secara signifikan elektabilitasnya.