Ketersingkiran ‘Quasi’ Kekuasaan Politik Dinasti
Sama seperti nasibnya dengan PPP, Golkar dan PAN pun tengah ditinggalkan oleh akar-akar rumput pendukungnya. Ibarat pohon beringin yang sudah renta, bakal roboh tumbang karena di akarnya sudah keropos dan rapuh. Dan tengah terjadi exodus akar-akar rumput pendukungnya ke Anis-Cak Imin dan KPP pula.
Untungnya di KPP, PD hengkang dan AHY tak jadi pasangan Anies. Lihat efek negatifnya, PD dan AHY hanya telah menimbulkan “gempa tektonik” berkekuatan di atas lima skala richter di KPP.
Hanya dikarenakan adanya ahli strategi politik Surya Paloh yang juga sebagai pembelot ulung yang melawan dari kekuatan koloni eks-partai oligarki, keputusannya untuk menetapkan bergabungnya PKB ke Nasdem, adalah strategi jitu politik yang telah “menghancurkan” peta kekuatan politik di koalisi partai-partai eks-oligarki menjadi “hazard”, berkabut tebal mengaburkan arah dan haluan kemenangan mereka. Kenapa?
Entitas esensial dan substansial semuanya yang menjadi penyebab bak keterkaitan ikatan politik kausalitas, adalah dikarenakan Puan Maharani, AHY dan Gibran, ketiganya adalah representasi politik dinasti.
Yang sesungguhnya sudah basi dan tidak laku sebagai daya guna “jualan” politik di tengah-tengah dinamika perkembangan teori akademis dan praksis modernisasi sosio-politik di mana pun di seluruh belahan dunia, terutama khususnya di negeri-negeri baik berbentuk republik maupun federasi yang berpaham demokrasi. Termasuk, di negeri Republik Indonesia ini.
Politik dinasti itu akan hanya cocok penerapannya di negara kerajaan monarchi dan atau kerajaan, khilafah, karena kekuatan kepemimpinan kekuasaan keduanya dianggap bersenyawa dan bersentuhan dengan ruhnya Tuhan bahwa raja itu representasi Tuhan oleh rakyatnya.
Maka, dia tidak akan mudah goyah dalam sejarah regenerasi kepemimpinan kekuasaan itu selama beratus-ratus tahun hingga kini memainkan meninggalkan warisan kemakmuran bagi rakyatnya.
Dan dalam keniscayaan praksis politik yang faktual dan nyata, politik dinasti yang diterapkan di negara-negara pengusung demokrasi dengan penguasanya rezim dari sipil maupun militer itu, fakta terbuktikannya hanyalah berakibat kepada terjadinya: suatu bentuk pembohongan dan penyelewengan konstitusional.
Pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat pengemban demokratisasi itu kemudian terkangkangi di negara-negara bercokol politik dinasti itu, ada dua:
Pertama, dalam perkembangan hanya menimbulkan dan memunculkan nagara itu menjadi represif, melahirkan negara dengan kepemimpinan rezim penguasa otoriter dengan otoritarianismenya.
Kedua, memunculkan tamu parasit yang tak diundang, lazimnya datang dan muncul dengan strategi politik latent , cara tak tercirikan dan tersembunyi, tapi tiba-tiba kemunculan kemudian melekat lengket sangat kuat bak lintah penghisap darah rakyatnya, kekuatan parasitisme oligarki korporasi yang telah melakukan “konspirasi persengkokolan politik dan ekonomi” dengan rezim penguasa dari dinasti politik itu.
Maka, seperti di negara kita yang hanya tinggal memakan waktu beberapa bulan lagi akan melewati kurun dan momentum transisi kepemimpinan dengan Pilpres 2024, akan tampak jelas dan terang di permukaan, bisa menjadi cara pandang, proyeksi dan perspektif politik bahwa Capres-cawapres siapa dan koalisi partai-partai apa yang posisinya paling jauh dari lingkaran keterkunkungan politik otoriter dari akibat kekuasaan politik dinasti itulah yang akan memenangkannya di kancah Pilpres dan Pemilu 2024 itu.