NUIM HIDAYAT

Ketika Amien Rais Mengenal Dekat Tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin (3)

Ketika Amien Rais mengambil program doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat, ia ingin menulis disertasi yang berkaitan dengan bangsa Indonesia dan kehidupan umat Islam khususnya.

“Setahu saya, di dunia Islam ada tiga kekuatan Islam yang mirip di tiga negara, yaitu Masyumi di Indonesia, yang ditokohi oleh Pak Natsir; Jamaah Islam di Pakistan yang dimotori Abu A’la Al-Maududi; dan Al-lkhwan al-Muslimun di Mesir yang dibidani oleh Hasan al-Banna dan Sayid Qutb,” kata Amien.

Dalam buku autobiografinya yang terbit pada 2010 itu, Amien melanjutkan, “Kegairahan saya untuk mendalami persamaan dan perbedaan tiga gerakan Islam modern ini, lantas membawa saya pada kesimpulan, sebaiknya saya pergi ke Mesir untuk mendalami asal mula munculnya al-lkhwan, sebab musabab kemerosotannya, dan juga kemudian fenomena kehadirannya kembali. Dengan latar belakang seperti itu, maka saya bertolak ke Kairo bersama istri saya. Alhamdulillah di Kairo itu saya sempat berkenalan dengan tokoh-tokoh puncak al-lkhwan al-Muslimun.

Di antaranya yaitu Umar Tilmisani, beliau adalah al-mursyid al-am, yaitu semacam pemimpin yang paling tinggi; Mustofa Mashur, yang kemudian juga belakangan menjadi al-mursyid al-am; Jamal-Yusuf, seorang tokoh budayawan Mesir; Abbas Sisi, tokoh al-lkhwan dari Alexandria, dan Dr. Muhammad Bahi. Di samping itu saya juga sering mendengarkan ceramah ceramah Syeikh Muhammad al-Ghazali, seorang pemikir kenamaan al-lkhwan dari Mesir, di layar televisi. Juga pemikiran-pemikiran dari Said Hawa, Muhammad Qutb dan lainnya.

Saya tidak punya dosen unggulan di Al-Azhar, tetapi karena Al-Azhar merupakan habitat baru bagi saya, maka kekaguman saya merata kepada dosen-dosen Al-Azhar. Bagi saya, kelebihan intelektual Mesir dibandingkan dengan Eropa adalah bahwa mereka itu bisa memahami dua atau tiga bahasa Eropa dengan sangat fasih dan sangat gampang. Saya pernah menanyakan kepada teman saya dari Mesir mengapa dalam tempo sangat singkat dia bisa menguasai bahasa Inggris, sementara kami dari Indonesia memerlukan dua sampai tiga tahun untuk memahami dan menguasai bahasa tersebut?

Sambil tersenyum dia mengatakan barangkali karena bahasa Arab itu bahasa yang sulit, sementara bahasa Inggris itu jauh lebih mudah, sehingga orang Arab yang belajar bahasa Inggris seperti turun bukit atau turun gunung. Jadi begitu mudah. Sementara orang non-Arab mempelajari bahasa Arab yang rumit itu seperti naik bukit yang lebih terjal. Barangkali ada betulnya, karena ketika di Notre Dame, saya punya sahabat dari Yaman yang belakangan menjadi rektor di Universitas San’a di Yaman. Ketika baru datang, bahasa Inggrisnya compang-camping, tapi pada semester kedua ia sudah melalap segala macam diskusi di kelas.

Waktu mengumpulkan bahan-bahan disertasi di Kairo, saya berkenalan dengan tiga orang sahabat karib, yaitu Fauzi, sekarang sudah almarhum, Abdul Khoir, dan almarhum Saleh Abdad. Saya juga berkenalan dengan seorang tokoh Jam’iyyah Washliyah dari Medan yang bernama Umar Tab’ii. Teman-teman saya inilah yang mengenalkan saya dengan tokoh-tokoh Ikhwan, sekaligus ikut menyusun berbagai pertanyaan dan lain sebagainya.”

Ada cerita yang menarik ketika Amien pertama kali datang datang ke Markas al-Ikhwan. “Banyak yang menaruh curiga kepada saya. Ada seseorang yang matanya nanar dan penuh kecurigaan kepada saya. Argumennya tidak salah juga. Karena saya dari Amerika, tentu pikiran-pikiran saya sudah tercuci oleh demokrasi Amerika. Bahkan, dia mencurigai jangan-jangan saya menjadi mata-mata dari CIA yang diselundupkan ke Mesir untuk memata-matai gerakan al-Ikhwan. Dia cukup jujur mengatakan, “Ya Akhi, saya tidak begitu percaya kepada Anda. Tapi, kalau nanti Anda mau jadi imam shalat Magrib, kita akan menilai apakah Anda betul-betul seorang pelajar yang sedang menulis disertasi ataukah Anda itu sesungguhnya mata-mata ClA.”

Saya waktu itu menjadi imam shalat magrib. Setelah mendengar bacaan saya yang lumayan bagus, dengan surat-surat terpilih yang mereka sukai, maka saya dipeluk dan hilanglah keragu-raguan itu. Sejak itu, hampir seminggu dua kali saya pergi ke kantor majalah al-Dakwah milik al-lkhwan itu dan setiap kali bisa berdiskusi dengan Umar Tilmisani.”

Amien berterus terang, ada juga hambatan bahasa ketika di Mesir. “Saya sering ditertawakan orang-orang Mesir ketika mencoba menggunakan bahasa Arab fusha atau bahasa Arab yang saya pelajari secara tertulis. Padahal, yang digunakan dalam bahasa Arab sehari-hari adalah bahasa ’ammiyah. Konstruksi dan bacaan bahasa ’ammiyah jauh bacaannya dibandingkan bahasa fusha. Barangkali lulusan Pesantren Gontor maupun pesantren pada umumnya akan gagap menggunakan bahasa Arab ’ammiyah, ketika awal-awal tiba di Mesir. Hal itu wajar, sebab bahasa seperti itu memang tidak pernah dipelajari di Indonesia. Karena itu, program saya pada minggu kedua adalah membeli radio dan membeli televisi supaya saya bisa memahami bahasa ’ammiyah. Sampai sekarang saya punya kendala bahasa ’ammiyah tersebut, karena buat telinga saya tetap sulit, sekalipun ada juga orang lain yang sangat cepat belajar. Barang kali karena saya terbiasa untuk berpikir yang gramatikal, sesuai dengan parama sastra dan lain-lain, sehingga hal itu justru jadi handicap dalam mengekspresikan bahasa ’ammiyah itu.”

Pada waktu di Mesir, Amien tercatat sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas Al-Azhar. “Saya melakukan reading course atau kuliah reading dengan Ustadz Sayid Ramadhan. Setiap kali saya membaca sebuah kitab, saya bertemu dengan beliau, diskusi isi kitab, kemudian bahu saya ditepuk-tepuk sambil mengatakan quaiysquaisy atau bagus… bagus. Saya kemudian pamit pulang.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button