OPINI

Ketika ‘The Guardian of The Constitution’ Berubah Menjadi ‘The Destroyer of The Constitution’

Penulis sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, di awal pendapatnya yang menyebut Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.

Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya, lazim disebut open legal policy.

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi RI, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo.

Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo, dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar “dikabulkan sebagian”.

Wajarnya, jika Ketua MK hendak menghindari konflik kepentingan maka dirinya harus tidak hadir atas kesemua perkara a quo mengingat potensi konflik kepentingan itu ada pada kesemua perkara itu. Juga wajarnya, jika Hakim MK akan mengabulkan permohonan yang berbeda-beda tapi atas norma yang sama, maka keempat perkara yaitu Perkara Nomor 29-51-55 dan 90/PUU-XXI/2023 haruslah dikabulkan semuanya, dan jika Hakim MK akan menolak maka haruslah ditolak semuanya, termasuk bersikap sama jika melakukan dissenting opinion maupun concuring opinion. Sedangkan ini tiga perkara ditolak dan satu perkara lainnya dikabulkan. Perubahan pertimbangan dan amar putusan yang hanya dalam hitungan hari saja mengakibat putusan itu berasa ridiculous dan berbau scandalous.

Putusan MK telah merusak Cita Hukum (Rechtsidee) yang merupakan dasar penting dalam kita bernegara. Pada peradilan konstitusi, rechtsidee itu diwujudkan berupa penegakan konstitusi. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan konstitusi memiliki tugas dan kewenangan untuk menjaga agar konstitusi ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karenanya MK dijuluki sebagai The Guardian of The Constitution.

Dalam ke-empat perkara MK a quo, MK wajib menegakkan ketentuan konstitusi yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD’45 yang berbunyi setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setidaknya ada tiga Cita Hukum dalam ketentuan pasal tersebut, yaitu kepastian hukum (rechtszekerheid), proses hukum yang adil (rechtsgang volgens behoorlijke procesvoering atau due process of law) dan keadilan (rechtvaardigheid) itu sendiri.

Rechvaardigheid menekankan pada prinsip-prinsip yang memberikan perlakuan yang adil kepada semua individu, tanpa diskriminasi, dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, tidak peduli apakah putusan itu akan menguntungkan atau merugikan atas diri seorang anak presiden atau anak rakyat jelata. Konsep ini mencerminkan aspirasi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di semua tingkatan. Keadilan tidak dilihat sekadar sebagai keadilan prosedural melainkan keadilan substantif yang didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang luhur.

Kita tentu bertanya-tanya sisi mana dari putusan yang mengabulkan itu memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang luhur guna ditegakkan di tengah berbangsa dan bernegara?

Ketiga Cita Hukum itu kini telah dihempaskan dan dirusak oleh (beberapa) Hakim MK dengan dipimpin langsung oleh Ketua MK yang menjadikan mereka tidak lagi patut dijuluki sebagai The Guardian of The Constitution melainkan patutnya dijuluki sebagai The Destroyer of The Constitution, untuk tidak menggunakan istilah yang lebih lazim: The Violator of The Constitution.[]

Dr. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.
Advokat di Jakarta

Artikel Terkait

Back to top button