KH Hasyim Asy’ari: Kiai yang Menggerakkan Revolusi (2)
Tidak lama setelah pesantrennya dibakar, masyarakat pun bergotong royong membangunnya kembali. Mereka ada yang menyumbangkan tenaga, bahan bangunan, dana dan lain-lain. Lebih kurang tiga bulan kemudian pesantren itu telah berdiri kembali dan lebih bagus dari yang semula.
Kiai Hasyim mempunyai jadwal yang ketat sehari-hari mengajar di pondoknya. Pada waktu shubuh, ia menjadi imam shalat dan memimpin wirid yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh. Setelah itu ia mengajarkan kitab at Tahrir dan As Syifa’ fi Huquqi Musthafa karya al Qadhi Iyadh sampai matahari terbit. Kemudian ia mengumpulkan para pengajar, petugas dan pekerja di pesantren untuk membagikan tugas harian.
Sekitar jam tujuh pagi, Kiai Hasyim mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Dhuha. Setelah itu ia mengajar para santri senior. Kitab yang diajarkan antara lain al Muhadzhab karya Al Syairazi dan al Muwatha’ karya Imam Malik. Kegiatan ini berakhir sekitar pukul 10 pagi.
Jam 10-12 pagi Kiai Hasyim mempunyai jadwal bebas. Kadang menerima tamu, membaca, menulis kitab atau kegiatan-kegiatan lain. Sebelum jam 12, ia sering istirahat sejenak menunggu shalat Zuhur.
Selepas shalat Zuhur, biasanya ia mengajar lagi kepada para santri. Setengah jam sebelum Ashar, ia gunakan untuk melihat perkembangan pesantren. Setelah itu ia mandi sejenak sebelum menjalankan shalat Ashar.
Setelah azan Ashar, kembali Kiai Hasyim memimpin jamaah shalat. Setelah itu para santri berkumpul untuk mempelajari kitab fiqih ringkas Fathul Qarib, karya Abu Abdillah Muhammad Ibnu Qasim al Ghazi as Syafii.
Ketika maghrib tiba, kembali Kiai Hasyim memimpin shalat. Setelah itu ia rehat sejenak, untuk menerima tamu atau bincang dengan keluarga. Sedangkan para santri menggunakan waktunya untuk membaca Al- Qur’an.
Bila Isya’ tiba, ia kembali memimpin shalat jamaah. Setelah itu para santri diajari tafsir Al-Qur’an atau tasawuf. Yaitu kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam al Ghazali. Kegiatan ini berlangsung sampai jam 11 malam. Setelah itu beliau beristirahat dan kemudian bangun sekitar jam satu malam untuk shalat tahajud dan membaca Al-Qur’an. Menjelang shubuh, Kiai Hasyim membangunkan para santri untuk shalat tahajud.
Kegiatan rutin yang dilakukan Kiai Hasyim itu berlangsung kurang lebih 15 tahun namanya. Karena keistiqamahannya mengajar para santri, maka santrinya pun terus bertambah tiap tahunnya.
Pada 1916, Pesantren Tebu Ireng selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga mulai memasukkan pelajaran ilmu umum. Seperti bahasa Melayu, matematika dan ilmu bumi. Pada tahun 1919, sistem pendidikan di Tebuireng ditetapkan menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Beberapa tahun kemudian mata pelajarannya ditambah lagi dengan bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim mempunyai hubungan yang erat dengan para santri dan keluarganya. Ia senantiasa memberi nasihat kepada santri agar patuh kepada orang tua dan sepulangnya dari pesantren agar mengajar. “Pulanglah ke kampungmu, mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” begitulah pesannya.
Ia juga merupakan Kiai yang terbuka pemikirannya. Santrinya yang lulus dari pesantren dibebaskannya untuk mengabdi atau berkarya di mana saja. Salah satu santrinya yang terkenal diantaranya, HM Mas Mansur yang setelah lulus justru menjadi pimpinan Muhammadiyah Surabaya. Begitu juga santrinya H Wahab Chasbullah dibiarkannya pada tahun 1924 ikut dalam forum Indonesische Studi Club yang dipimpin Dr Soetomo. Padahal forum ini adalah forum diskusi intelektual yang cenderung sekuler.