TELADAN

Kiai Aceng Zakaria Ulama Cahaya Bertabur Karya, Sebuah Obituari

Wajahnya penuh keteduhan. Suaranya datar menenangkan. Kata-katanya apik tertata. Pembawaannya tenang jauh dari kesan meledak-ledak.

Jika mengajar seisi kelas hening, khusyu menyimak. Kata demi kata tak ada yang dilewatkan. Terkadang logika ini diajaknya berkelana. Semakin antusias jiwa mencernanya.

Lalu sesekali kita dihiburnya dengan kalimat jenaka. Tawa pun pecah melepas bahagia. Dalam logika dan kejenakaan ada saja ilmu yang didapat.

Saat ceramah, tuturnya adalah tuntunan bukan tontonan. Sikapnya menghadirkan teladan bukan dandanan. Menjadi panutan bukan sekedar slogan. Hujjahnya dibalut ilmu bukan logika semu.

Ustadz Aceng, demikian kami memanggilnya. Seorang guru inspiratif yang membangun jiwa. Ulama panutan langka yang bertabur karya. Ulama sederhana penuh ketawadhuan. Meski menjulang ilmu, jiwanya tetap membumi. Tidak berlebihan jika Ustadz Adian menjulukinya ulama hebat produk lokal kualitas internasional.

Senin, 21 November 2022 adalah hari yang dijanjikan. Itulah takdir akhir hidupnya. Dalam usia 74 tahun Sang Pemilik memanggilnya kembali. Sebuah berita duka di tengah gempa Cianjur. Menambah kalbu ini berkabut pilu.

Wafatnya ustadz Aceng bagaikan kumandang adzan bagi murid-muridnya. Berbondong-bondong datang dari segenap daerah. Tumpah ruah memenuhi rumah duka. Berta’ziyah sekaligus memenuhi hak terakhirnya di dunia ini.

Ribuan orang mendoakan, menyolatkan dan mengantar menuju tempat peristirahatan terakhir. Semoga menjadi bakti purna kami, anak-anaknya; biologis ataupun idiologis.

Sungguh, wafat yang mengumpulkan. Kematian yang menghimpun dan menyambungkan. Dalam tiada, beliau tetap menjadi guru yang mempersatukan.

Di usianya yang ke-74 tahun, karyanya melampaui hitungan angka umurnya. Tercatat 103 judul buku ditorehkannya sebagai buah karya yang diwariskan. Dalam tiada, beliau masih menjadi guru. Lewat karya abadi digugu dan ditiru.

Bersyukur saya menjadi muridnya. Meski hanya ‘sebutir pasir’ di antara sekian ribu muridnya, saya bersyukur satu dari mereka. Pun di antara deretan keluarga yang menjadi anak-anak idiologisnya. Kami delapan bersaudara tumbuh ditempa dalam asuhan dan didikan lembutnya. Mulai si sulung sampai si bungsu.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button