KIM Plus Tiada Guna, Anies akan Tetap Menyala
Yang sekali lagi dikarenakan masih kuatnya politik cawe-cawe Jokowi itu terbuktikan —setelah melalui MK di Plipres kini melalui MA di Pilkada—turut mempengaruhi jadi mempersulit tata atur dan kelola administrasi serta birokrasi bagi keikutsertaan para calon independen siapapun itu oleh KPU dan Baswalu di daerahnya.
Maka, di tengah-tengah terjadinya situasi dipenuhi intrik, friksi dan kekisruhan Pilkada Jakarta itu, yang paling fairness itu seharusnya semuanya dikembalikan kepada kepentingan esensi substantifnya, yaitu kepada norma hukum demokrasi yang sudah pasti harus berkesesuaian dengan konstitusi UUD 1945.
Salah satunya yang menjadi faktor paling penting, adalah bukannya melakukan penyeragaman, tetapi membiarkan tetap adanya keberagaman.
Dalam norma hukum demokrasi kesunyataan membiarkan keberagaman dengan hadirnya lembaga oposisi dan lawan itu harus tetap ada, adalah suatu keniscayaan elegant, trustment dan capable dalam aras dan ranah demokrasi yang sehat itu sendiri.
Bukan seperti KIM Plus yang menisbatkan penyamaan politik, tak ada perbedaan dialektika dan diskursus, serta pendapat dan kritik tetapi hanya untuk kepentingan penyamaan pragmatisme kekuasaaan yang melegitimasi suatu kelompok partai tertentu yang mendominasi untuk berkuasa.
Maka, kita lihat saja nanti di detik-detik akhir tinggal beberapa hari menuju waktu tiba pendafataran resmi paslon Gubernur: masih adakah lawan yang akan bisa menyalip di lap tikungan terakhir di gelaran balapan grandprix Pilkada Jakarta untuk membuat kejutan menantang paslon Ridwan Kamil-Akhmad Shaikhu itu?
Yang paling memenuhi syarat norma hukum demokrasi itu, sebenarnya adalah adanya kesepakatan dua partai politik yang satu selama ini konsisten beroposisi dan satu partai lagi dalam konteks kekinian justru akan menempatkan dirinya akan beroposisi. Yaitu, bergeraknya koaliasi antara PKS dan PDIP yang akan bertarung melawannya.
PKS dan PDIP yang sesungguhnya memiliki basis ideologi yang sama, nasional-religiusitas, berbeda hanya di penempatannya berada di sayap kanan dan kiri, hendaknya bersepakat untuk mengusung Anies Rasyid Baswedan-
Shohibul Iman.
Kenapa PKS “ngotot” mengusung pasangan ini anggaplah itu sebagai suatu kelaziman dikarenakan PKS lah di Pemilu nasional 2024 ini yang keluar sebagai pemenang suara terbanyak. Sehingga, memperoleh kursi terbanyak di legislatif DPRD Jakarta.
Sedangkan, bagi PDIP, koherensi bagi kepentingan internal politik itu dilegowokan dan akan merasa lebih terhormat —meskipun tanpa personal representasi partainya menjadi paslon Gubernur, mencerminkan konsistensinya yang luar biasa lebih mementingkan derivatif peranan politiknya yang benar-benar akan menjadi oposisi besar di pemerintahan mendatang tidak saja di tingkat daerah maupun nasional.
Dan bagi Anies sendiri sekalipun pada akhirnya tidak ikut serta dalam kancah konstestasi Pilkada, baik melalui jalur partai maupun independen, obor Anies takkan pernah menjadi padam.
Seperti penulis telah meliterasi artikel di website Suara Islam ini dan vt di YouTube dan Tiktok berjudul “Free Free Freedom Anies” sudah disematkan bahwa Anies sebagai tokoh level nasional “The Guardian of Democracy” menempatkan Anies dengan sendirinya sebagai akumulator the public saving bagi suara kebebasan partisipasi, simpati dan empati rakyat mencintai demokrasi: sampai tiba saatnya di lima tahun mendatang Anies bakal meraih dan melegitimasikan estafet kepemimpinan nasionalnya sendiri ke depan! Wallahua’lam Bishawab. []
Mustikasari Bekasi, 9 Agustus 2024.
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.