SILATURAHIM

Kisah Harry Moekti: Hijrah, Istiqamah, tak Kenal Lelah dan Lengah

“Untuk yg cinta dunia, hijrah itu berat. Untuk yg sudah hijrah Istiqomah jauh lebih berat.” Itulah sepenggal tutur penuh makna oleh Alm Ustad Hari Moekti yang wafat pada tanggal 24 Juni 2018 kemarin. Sontak kemudian duka dan bahagia membanjiri khalayak tanah air. Duka karena kehilangan sosok dai tangguh yang sangat menginspirasi dan bahagia sebab Allah menjemputnya dengan kematian terindah yang diimpikan tentunya oleh seorang muslim sejati. Yakni, saat lisan dan raga sedang menyeru agamaNya.

Keteguhan dan keistiqomahannya tidak diragukan lagi. Ia telah menuntaskan putaran perjalanan hijrahnya 360 derajat menjadi dai yang tangguh di medan juang. Berbalik arah dari hingar bingar kehidupan selebriti yang bermandikan materi. Menjadi dai sederhana yang mendedikasikan hidupnya dijalan terjal dakwah Islam.

Kisahnya menjadi cambuk bagi orang-orang yang juga menekuni jalan hijrah sepertinya. Hendaklah agar tidak mencukupkan diri dan berbangga pada posisi yang diraih saat ini. Namun, berusaha semaksimal mungkin mengerahkan segenap tenaga untuk berjuang di jalan Islam. Tidak pula mencukupkan kebaikan hanya untuk pribadi saja namun juga mendakwahkan dam menyebarkannya ditengah masyarakat.

Saat kebanyakan diri sibuk berkeluh dan berkilah, Ia justru tak mengenal kata lelah. Satu hal yang begitu menghantam dada teramat keras atas wafatnya beliau adalah sepotong kisahnya yang luar biasa. Saat di panggung dakwah, ia layaknya singa podium membarakan semangat dan energi ke seluruh jamaah. Namun, selesai itu ia bergegas menuju mobilnya untuk memasang selang oksigen ke hidungnya akibat sesak nafas. Ia mengidap penyakit asma serta cincin pun menghiasi jantungnya. Ia tidak mentoleransi agar dakwah cukup ala kadarnya saja. Tak berdalih bahwa wajar jika sakit maka boleh untuk tidak beraktivitas dakwah secara maksimal.

Terkadang seseorang dengan masa lalu yang terburuk, akan membuat masa depan yang terbaik. Tidakkah kita ambil pelajaran dari indahnya kisah hidupnya. Saat muda mati-matian mencari dunia. Namun, ditutup dengan akhir menjadi pejuang agamaNya. Mati itu pasti, hanya kita dapat memilih ingin dijemput saat gairah dakwah tengah menggelegah atau kala diri menyerah dan lengah? Jika pilihannya yang pertama, maka layaklah sosoknya menjadi panutan. Menyibukkan dirinya dalam dakwah dengan segala keterbatasan.

Beliau telah mencatatkan rekor amal dakwah yang unggul. Semoga menjadi cambuk bagi pengemban dakwah seluruhnya untuk lebih bersemangat dan totalitas dalam jalan perjuangan. Senantiasa teguh dan Istiqomah, serta tak lengah bermalas-malasan dalam jalan dakwah. Menggunakan sebaik-baiknya kesempatan waktu yang masih Allah berikan sebelum ajal menjemput. Wallahu a’lam bisshawab.

Novita Sari Gunawan
(Aktivis Akademi Menulis Kreatif)

Artikel Terkait

Back to top button