Kondisi Pandemi, Keluarga Harus Ubah Paradigma Keuangan
Makassar (SI Online) -Webinar Nasional yang digelar Wahdah Islamiyah menghadirkan Dr. Abdul Hamid Habbe, pakar ekonomi dari UNHAS, Ahad (20/12). Dosen yang juga Ketua Dewan Pengawas Keuangan Wahdah Islamiyah ini didaulat untuk membawakan materi bertajuk “Ketahanan Ekonomi Keluarga di Era Pandemi”.
Abdul Hamid mengawali paparannya dengan menjelaskan adanya bias psikologi yang terkadang tidak kita oleh sebuah keluarga.
Bias itu antara lain yang beliau sebut dengan “fly paper effect”. Maknanya, saat uang mudah diperoleh cenderung boros. Sebaliknya saat uang sulit didapat, cenderung hemat.
Padahal seharusnya, menurut beliau, kita harus tetap meyakini bahwa rezeki adalah amanah dari Allah yang harus kita kelola sebaik mungkin.
Ada juga “mental accounting” yang tidak tepat. Perilaku belanja sebagian keluarga kadang tidak memperhatikan mana kebutuhan primer, mana sekunder, dan mana tersier.
Justru perilaku belanja itu terkadang dipengaruhi tempat. Saat di tempat belanja yang biasa saja, pengeluarannya sedikit. Cenderung hemat. Namun saat masuk ke restoran mahal, yang dipesan juga makanan yang mahal.
Fenomena lain yang beliau jelaskan adalah fenomena “treadmill”. Ini adalah salah satu jenis alat oleh raga dengan cara lari di tempat. Di atas tredmill, saat kita berjalan lambat, matras di bawah kaki juga lambat, dan sebaliknya. Jadi saat berjalan cepat maupin lambat, ternyata tidak bergeser dari tempat kita.
Analogi treadmill ini menggambarkan, waktu pendapatan kita kecil, pengeluaran sedikit. Sebaliknya saat pendapatan besar, konsumsi meningkat. Akibatnya, tabungan tetap nol.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, sebagai orang Islam kita sebaiknya tidak hanya memikirkan pengeluaran untuk konsumsi, investasi, tabungan. Kita juga harus memikirkan pengeluaran untuk zakat, infaq, dan sedekah (ZIS).
Menarik sekali penjelasan beliau, bahwa ternyata pengeluaran itu bukan hanya dipengaruhi besaran, tapi juga urutan. Ini adalah “bias order” tersendiri. Jika ZIS dikeluarkan di belakang, jumlahnya relatif sedikit.
Sebaliknya, kalau ZIS ditempatkan di urutan palig awal, bisa sama besar dengan pengeluaran untuk konsumsi, investasi, dan tabungan.
Lebih jelas, urutannya dalah: ZIS – Investasi – Tabungan (Saving), setelah itu baru Konsumsi. ZIS ditempatkan di urutan yang pertama, investasi yang kedua, dan seterusnya. Jadi, pengeluaran untuk ZIS bukan sisa-sisa konsumsi.
Kesalahan yang sering kita lihat adalah menempatkan “konsumsi” di urutan pertama. Akibatnya bisa kita saksikan terkadang ada keluarga yang telah lama bekerja dan menabung, namun belum punya rumah. Ini karena menempatkan “konsumsi” di urutan paling depan.
Setiap rumah tangga harus punya visi dan misi. Lima tahun kedepan harus punya apa? dan seterusnya. Visi seperti ini yang akan mendorong untuk melakukan investasi.
Kita perlu memiliki investasi, karena ketika menghadapi pandemi dan disrupsi kita akan kewalahan jika hanya mengandalkan pendapatan reguler.
Menabung (saving) ditempatkan setelah investasi karena “return”-nya lebih kecil dari investasi.
Itulah paradigma yang harus diubah dari sebagian keluarga dalam menghadapi era pandemi dan disrupsi 4.0.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa pendapatan itu ada dua jenis, “predictable” dan “unpredictable”.
Pendapatan predictable adalah pendapatan yang kita ketahui jumlahnya dan kapan diterima. Biasanya dirasakan oleh para PNS, karyawan, dan pedagang.
Sebagai seorang muslim, kita harus punya keyakinan adanya pendapatan yang tidak bisa diprediksi, unpredictable. Pendapatan jenis ini selalu datang tepat pada waktunya dan terkadang jumlahnya jauh lebih besar dari yang predictable.
Apa modalnya? Modal adalah takwa. Diantara bentuk takwa adalah “orang yang berinfak di waktu lapang maupun sempit”. Alladziina yunfiquuna fis sarra’i wadh dharraa’. Inilah yang disebut dengan ZIS.
ZIS adalah representasi takwa. Dan, takwa akan diganjar dengan rezeki yang datang “min haitsu laa yahtasib”, dari arah yang tidak disangka-sangka. [ibw]