Konstruksi Peran Mahasiswa dalam Pusaran Rezim Oligarki
Pemuda agen perubahan. Ujung tombak peradaban. Pemimpin masa depan. Suaranya berani, idealis dan kritis. Namun hari ini, suara-suara mahasiswa dihalangi. Dibungkam dengan berbagai ancaman sengit. Dituduh disponsori hingga dikatakan sampah oleh pejabat negeri. Akankah angin demokrasi menggiring mahasiswa pada arah perubahan hakiki?
Pasca reformasi pergerakan mahasiswa tak garang lagi. Idealisme dan kekritisannya mati suri. Terbuai kesibukan kuliah, kapitalisasi pendidikan dan upaya depolitisasi dengan dalih ekonomi pemuda kreatif. Alhasil peran utama mahasiswa sebagai agen perubahan dan pengontrol kebijakan zalim penguasa pun tak bergigi.
Mahasiswa tetap saja bergeming. Bahkan ketika terjadi tragedi berdarah 22 Mei 2019 dan tewasnya ratusan petugas KPPS di masa pemilu. Namun, pijar-pijar kebenaran sejatinya tidak pernah padam. Tatkala melihat kezaliman rezim oligarki di depan mata, suara dan kaki pun ingin lantang bergerak.
Pergerakkan mahasiswa kembali bertaring, kala menolak revisi RKUHP dan revisi UU KPK pada medio September 2019. Aksi mahasiswa kala itu dilakukan secara masif, luas dan serentak. Mulai dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta hingga ke kota-kota kecil.
Setelah lebih dari setahun yang lalu, kini mahasiswa kembali bergerak. Dipicu pengkhianatan tuan wakil rakyat, yang mensahkan Si Sapu Jagad UU Cipta Kerja. Aksi mahasiswa bersama elemen buruh menolak UU Ciptaker masih memanas. Tidak hanya menghadapi pandemi, aksi represif dan penangkapan tanpa hati aparat polisi. Demo mahasiswa pun dikabarkan berusaha dibungkam dan dipersulit.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dikabarkan mengeluarkan surat edaran yang mengimbau mahasiswa tak terlibat demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hal ini tertuang dalam surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nomor 1035/E/KM/2020 perihal ‘Imbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja’. Surat ini diteken oleh Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam pada Jumat (9/10). (detik.com, 9/10/2020).
Merespon surat edaran tersebut, Satriawan Salim selaku Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, seharusnya Nadiem Makarim memberikan apresiasi kepada para mahasiswa. Menurutnya, kritik yang dilakukan mahasiswa sejalan dengan poin 6 pada surat edaran tersebut. Adapun aksi turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya. (pikiran-rakyat.com, 11/10/2020).
Aksi mahasiswa besar-besaran juga mengundang kegeraman dari petinggi negeri. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut demo mahasiswa disponsori pihak lain. Pernyataannya terlontar karena pemerintah sangat jengkel dengan aksi demo di tengah pandemi virus Corona tersebut. (suara.com, 8/10/2020).
Yang terbaru, dari balik pagar istana, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut masyarakat yang tetap menggelar aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19, sebagai sampah demokrasi. Ngabalin pun menyebut demo buruh dan mahasiswa ditunggangi pihak lain. (detik.com, 13/10/2020).