Kontemplasi Akal Sehat
Pada Senin malam, 9 September 2019, Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kontemplasi terkhusus untuk rakyat Indonesia.
Dari pidato panjangnya, ada beberapa poin yang disampaikan SBY, diantaranya:
Pertama, harapannya agar Indonesia bisa mewujudkan “the good society” hingga menjadi “the good country”. Kedua, ada nilai fundamental yang mampu menjadi rumusan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Yakni cinta dan persaudaraan. Ketiga, SBY mengajak seluruh komponen bangsa mendukung pemerintahan yang terpilih. “Pemilihan umum baru selesai kita lakukan. Rakyat telah memberikan mandatnya kepada kepemimpinan yang baru. Dalam kapasitas saya selaku pribadi dan pemimpin Partai Demokrat, saya mengajak saudara-saudara kami rakyat Indonesia untuk memberikan kesempatan dan dukungan kepada pemimpin dan pemerintahan yang baru agar sukses dalam mengemban amanah rakyat,” kata SBY dalam pidatonya di Cikeas, Bogor, Senin (9/9/2019). (Detik.com, 9/9/2019).
Dia berharap materi kontemplasinya dapat melengkapi agenda, kebijakan, dan langkah-langkah yang diambil negara dan pemerintahan mendatang. Apa yang disampaikan SBY memang semestinya direnungkan oleh semua pihak. Terlebih presiden, menteri, dan pejabat pemerintahan dibawahnya. Masalah yang mendera Indonesia tak kunjung berakhir. Disintegrasi, polarisasi, kriminalisasi, korupsi, stigmatisasi, kebijakan yang menzalimi, dan berbagai problem lainnya masih menghantui Indonesia. Dari beberapa poin kontemplasi tersebut patut kita garisbawahi. Terutama untuk penguasa.
Pertama, tentang harapan agar Indonesia menjadi “the good society” dan “the good country. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang sejahtera. Memiliki akhlak mulia, ketakwaan yang sempurna, jauh dari pergaulan salah, dan kesehatan prima. Sementara, dibawah sistem kapitalis sekuler, masyarakat kita justru sebaliknya. Seks bebas, kemiskinan, stunting, penyakit menular seksual adalah diantara masalah yang masih menjadi PR besar. Layanan kesehatan masih minim. Lantas, mampukah mewujudkan ‘the good society’ bila peran negara nihil?
Adapun “the good country”, mampukah terwujud bila negara justru berwatak kapitalis? Aset negara dijual atas nama kerjasama. Utang luar negeri terus bertambah dengan dalih untuk biayai APBN negara. Dibawah naungan kapitalisme, negara tak ubahnya fasilitator dan regulator kepentingan konglomerat. Negara tak memberikan pelayanan kepada rakyat. Rakyat malah dibebani dengan berbagai kebijakan yang merugikan mereka. Bagaimana mau menjadi “the good country” sementara penguasa tak simpati dan berempati dengan nasib rakyatnya sendiri?
Kedua, rumus menjaga persatuan dan kesatuan adalah cinta dan persaudaraan. Sebagai negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, budaya, agama, dan golongan, persatuan dan kesatuan sangatlah penting. Menjaga setiap jengkal tanah nusantara dari rongrongan asing itu kewajiban. Di saat ada kelompok yang serukan solusi Islam untuk menyelamatkan bangsa, mereka dituding radikal, anti pancasila, dan anti NKRI. Bagaimana mau menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang sementara di masa pemerintahan Jokowi tuduhan dan fitnah kepada yang berseberangan begitu mudah terlontar? Entah dengan sebutan ujaran kebencian, intoleran, dan beragam narasi negatif lainnya. Yang menyesakkan, tudingan itu banyak dialamatkan pada umat Islam. Polarisasi pun tak terelakkan.
Semua ini bermula dari narasi jahat yang merebak di era Jokowi. Itu artinya pemerintahan Jokowi gagal menjadi pemersatu dan perekat. Gagal menetralisir perbedaan yang kian meruncing. Hal ini takkan terjadi andaikata hukum ditegakkan seadil-adiknya. Hukum tidak dijadikan alat pukul bagi pihak yang kritis terhadap pemerintah. Yang ada sikap represif yang ditampakkan. Meski kepala negara berasal dari warga sipil yang katanya merakyat, faktanya tak menjamin pemerintahannya pro rakyat. Malah lebih kental bergaya otoriter ala militer.
Ketiga, SBY meminta semua komponen bangsa mendukung pemerintah. Bapak SBY mungkin lupa dukungan akan muncul karena kepercayaan. Bagaimana rakyat mau mendukung sementara kebijakan pemerintah tak memihak mereka? Sudah terlalu banyak kezaliman yang dilakukan penguasa hari ini. Dari janji yang tak kunjung direalisasi hingga tarif segala rupa yang dinaikkan. Sudahlah rakyat dibuat susah, tak perhatian pula. Rakyat telah jengah dengan pola tingkah para pejabat. Tak ingin rakyat manja dengan berbagai subsidi, mereka justru dimanjakan dengan tunjangan dan kenaikan gaji.
Inilah kontemplasi akal sehat kami. Berpikirlah sebelum ambil kebijakan. Lihat dan perhatikan garis wajah rakyat saat kalian duduk di singgasana mewah. Betapa susahnya mereka berjibaku di sistem kapitalisme. Untuk mencukupi kebutuhan dasar saja kami tersengal-sengal. Rakyat ditagih dengan pajak, sementara pejabat meminta jatah, dimana akal sehat? Pikiran kami pusing bukan kepalang memikirkan nasib bangsa. Di atas sana mereka justru bancakan jual beli kekayaan negara.
Mari renungkan. Kontemplasi akal sehat ini ingin menyampaikan bahwa akar permasalahan tak sekedar pada orang. Namun, ada sistem yang mempengaruhi setiap kebijakan. Sistem ini juga menggerogoti akal sehat. Demi nafsu berkuasa yang tak terbatas. Kapitalisme membentuk manusia rakus. Sekularisme menjauhkan manusia dari aturan Tuhan. Kami hanya ingin negeri ini menjadi baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghofur. Jika dan hanya jika Islam menjadi pondasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban