Kontroversi Kepala BPIP
Entah mengapa Presiden Joko Widodo gemar mengangkat sosok kontroversial untuk jabatan-jabatan vital.
Sejak 5 Februari 2020, Yudian diangkat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Banyak pihak heran mengapa Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini yang mendapat berkah jabatan dengan gaji Rp76 juta sebulan itu.
Jokowi lebih memilih tokoh yang pernah melanggar nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada 2018, semasa menjabat rektor, Yudian membuat kebijakan melarang mahasiswi mengenakan cadar di UIN Sunan Kalijaga. Kebijakan yang bikin heboh itu hanya berumur sebulan. Karena memanen protes banyak kalangan. Melarang cadar tentu sama saja dengan menghalangi orang menjalankan keyakinannya. Itu melanggar sila pertama dari Pancasila.
Belum lama ini publik dikagetkan dengan pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor Yudian Wahyudi yang kontroversial.
“Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” kata Yudian dalam wawancara dengan Tim Blak-blakan detik.com.
Pernyataan bahwa agama musuh terbesar Pancasila merupakan pernyataan bias dan multitafsir. Pernyataan Yudian gegabah. Ia membangkitkan kemarahan sebagian umat Islam. Walaupun ia tidak menyebutkan agama secara keseluruhan. Namun ada indikasi yang sangat jelas dari mulut Yudian tentang agama mana yang dia maksud sebagai musuh terbesar Pancasila.
“Menurut dia, ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden. Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya mereka pun kecewa.” Paparnya.
Sekendang sepenarian, Asyari Usman, yang dimaksudkan Yudian di dalam rangkaian kalimat di atas, 99.99% bukan agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha atau Konghucu. Sebab, sudah terkunci di istilah “ijtima ulama” dan “menentukan calon wakil presiden”. Pertama, “ijtima ulama” adalah terminologi Islam. Kedua, frasa “menentukan calon wakil presiden” adalah aktivitas politik yang sah dan konstitusional yang dilakukan oleh kelompok Islam semasa pilpres 2019. (suaraislam.id)
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menilai pemikiran dan pemahaman Yudian tentang Pancasila ini bisa mengancam eksistensi negara. Selain itu, ia khawatir pemikiran Yudian tersebut menjadi destruktif terhadap pengakuan agama dalam Pancasila.
Anwar Abbas mendesak Jokowi mencopot Yudian. “Tindakan presiden yang paling tepat untuk beliau adalah yang bersangkutan dipecat tidak dengan hormat,” katanya, Rabu (12/2). “Sebab kalau yang bersangkutan tidak diberhentikan dan tetap terus duduk di sana, maka BPIP ini sudah tentu akan kehilangan trust atau kepercayaan dari rakyat,” tambahnya.
Rasanya, benar kata Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar KH Ahmad Sadeli. “Pemahaman masyarakat tentang Pancasila akan sulit terwujud jika pimpinan BPIP memiliki cara pandang yang kontroversial, bahkan bisa berbahaya,” ujar Ketua PBMA ini.
Lebih jauh lagi, pernyataan Yudian ini mengingatkan publik tentang cara-cara Partai Komunis Indonesia atau PKI memecah belah bangsa. Mempertentangkan Pancasila dan agama bukanlah hal baru. Itu “proyek dan pekerjaan” lama. Di era Orde Lama, cara demikian, dilakukan PKI. Dokumen soal itu masih tersimpan rapi. Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution saat menjadi Ketua MPRS mengatakan, “PKI selalu berupaya membenturkan antara Pancasila dengan Islam.”
Deni Kurniawan
Mahasiswa Mathla’ul Anwar