OPINI

Krisis Kepemimpinan di Tengah Kritisnya Pandemi Corona

COVID-19 yang mewabah di Indonesia sudah tak terkendali. Dari sejak 2 Maret diumumkannya kasus virus Corona sebanyak 2 pasien, peningkatan pasien positif Corona kian meningkat tajam.

Berdasarkan data dari situs kawalcovid19.id, jumlah kasus pasien terkonfirmasi Corona menjadi 450 orang, 392 orang dalam perawatan, 20 orang sembuh, dan 38 orang meninggal. Yang paling mencengangkan, Indonesia justru menempati urutan pertama kasus kematian akibat virus Corona sebanyak 8,67% dibandingkan dengan Cina dan Italia yang hanya 1,09% dan 8,57% dari jumlah kasus yang terinfeksi. Padahal jumlah kasus yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia (perhitungan saat itu 369 kasus) lebih rendah dibandingkan Cina (81.250 kasus) dan Italia (47.021 kasus).

Tingginya angka kematian Indonesia menjadi alarm keras untuk pemerintah. Bukan tidak mungkin angka itu semakin meningkat tanpa terkendali jika pemerintah tak segera sigap dan cepat tanggap. Tingginya angka kematian dan semakin meningkatnya kasus Corona di Indonesia setidaknya disebabkan beberapa hal. Pertama, antisipasi yang terlambat. Saat wabah Corona melanda dunia di penghujung tahun 2019, saat itu Indonesia masih santai dan merasa aman. Sebab, ketika Cina kelimpungan menghadapi makhluk mikroorganisme ini, Indonesia masih seru melemparkan guyonan-guyonan yang terkesan meremehkan. Seperti, ‘Orang Indonesia biasa makan nasi kucing, pasti kebal dengan virus Corona’, ‘Corona tidak akan datang karena Indonesia negara tropis’, ‘Virus itu penyakit self limited disease, jadi bisa sembuh sendiri’, ‘Katanya virus Corona nggak masuk Indonesia karena izinnya susah’, ‘Corona (masuk Batam)? Corona mobil?’, ‘Di Cina itu kan persentasenya kecil, jadi enjoy aja’.

Demikianlah sebagian kalimat candaan mereka tentang Corona. Mirisnya, sebagian candaan itu terlontar dari mulut pejabat negara dan menteri, yang seharusnya menjadi orang pertama yang menyerukan kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap merebaknya Corona di berbagai negara saat itu. Sayangnya, mereka tidak melakukannya. Justru mencandai si virus dengan berbagai gimik. Keterlambatan dalam mengantisipasi saat wabah itu masih nol persen di Indonesia menjadi salah satu sebab kasus Corona di Indonesia meningkat secara cepat.

Kedua, edukasi minim. Saat diumumkannya kasus Corona pertama kali pada tanggal 2 Maret 2019, informasi terkait pencegahan dan antisipasi diri sangat minim. Di masyarakat akar rumput, informasi terkait Corona dan upaya preventif serta kuratifnya belumlah tersampaikan secara merata di seluruh Indonesia. Masih banyak yang belum memahami seluk beluk penyakit ini. Sosialisasi tidak menyeluruh. Hanya mengandalkan TV dan media sosial. Belum sampai pada level terbawah semacam RT dan RW.

Pada akhirnya, social distancing, libur 14 hari di rumah, dan batasi kerumunan, disalahartikan dan tidak dipatuhi masyarakat. Libur panjang dijadikan ajang berlibur sekeluarga ke tempat wisata. Masih pula terlihat mobilitas masyarakat di tempat-tempat keramaian. Cuci tangan dan perilaku jaga diri dari Corona masih banyak di langgar. Ini membuktikan edukasi dan sosialisasi pemerintah tentang Corona dan pencegahannya belum menyentuh semua elemen masyarakat.

Ketiga, komunikasi publik kacau. Sejak kasus pertama diumumkan panic buying merebak sangat cepat. Masyarakat panik lalu buru-buru memborong masker dan hand sanitizer yang kerap dipakai sebagai tindakan minimal mencegah Corona. Ini diakibatkan karena kurangnya komunikasi pemerintah menebar ketenangan pada rakyat.

Pemerintah juga kurang sigap. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah minim. Mereka seakan bergerak sendiri-sendiri. Tanpa protap tetap, tidak terkomandoi dengan jelas, TOR penanganan Corona juga tidak sama. Para kepala daerah seakan ingin menyelamatkan warganya dengan caranya sendiri. Saat beberapa daerah akan memilih opsi lockdown lokal, buru-buru diwarning Jokowi. Hanya pemerintah pusat yang bisa menetapkan lockdown. Tata cara dan mekanisme penanganan Corona tidak seirama. Inilah yang kami baca. Komunikasi publik pemerintah kacau dan tidak terintegrasi dengan berbagai wilayah. Pemerintah juga dinilai tidak terbuka. Siapa yang positif, informasi pasien tidak lengkap, peta sebaran di berbagai wilayah juga tidak transparan.

Yang lebih mengejutkan, pemerintah mengklaim telah membeli obat avigan dan klorokuin. Konon, obat itu mampu mengobati pasien Corona. Jokowi juga meminta BUMN bisa memproduksi obat antivirus Corona. Sementara WHO pernah mengonfirmasi bahwa vaksin virus Corona masih dalam tahap penelitian dan uji klinis pada manusia baru akan dilakukan. Klorokuin sendiri diketahui sebagai obat malaria, bukan Corona. Sementara avigan merupakan obat yang dikembangkan oleh anak perusahaan Fujifilm, Avigan. Obat ini juga dikenal dengan Favipiravir. Obat ini sudah diuji klinis ke 340 pasien di Wuhan dan Shenzen. Meski efektif menangani pasien Corona, namun obat ini belum cukup efektif menangani pasien Corona dengan gejala berat.

Dari sekelumit fakta, mungkin itu yang menjadi pertimbangan Presiden membeli klorokuin dan avigan sebagai upaya penyembuhan para pasien. Karena kedua obat ini dinilai memberikan hasil memuaskan dalam penyembuhan pasien Corona.

Hanya saja, penggunaan obat ini juga masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan profesional. Seperti Kementerian Kesehatan Jepang yang mengatakan avigan tidak cukup efektif menyembuhkan pasien COVID-19 dengan gejala kronis. Keampuhan klorokuin sebagai obat Corona juga dibantah oleh Kepala Perawatan Klinis dalam Program Emergency WHO, Janet Diaz.

Ahmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah dalam penanganan COVID-19 juga mengatakan cara penyembuhan dengan kedua obat tersebut belum berstandar internasional. Badan Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) juga masih menguji obat ini. Hal inilah yang seharusnya dijelaskan pada publik. Tidak menggunakan diksi seolah pasien Corona bisa sembuh dengan kedua obat ini.

Keempat, penanganan lamban. Tingginya angka kematian pasien di Asia Tenggara adalah satu bukti bahwa penanganan virus Corona di Indonesia lamban. Saat rakyat meminta menutup akses WNA masuk ke Indonesia, masih kecolongan juga. 49 TKA asal Cina berdatangan ke Bandara Haluoleo, Konawe, Sulawesi Tenggara. Dengan enteng pula Menko maritim dan investasi masih pasang badan membela TKA Cina. Menurutnya, TKA tersebut legal memasuki Indonesia.

Belum lagi masalah kurangnya alat medis yang tersedia di Rumah Sakit rujukan. Bahkan 25 tenaga medis harus ‘rela’ terinfeksi Corona, satu diantara mereka meninggal. Akibat kelelahan dan keluhan betapa minimnya peralatan medis yang tersedia. Setelah jumlah kasus bertambah, pemerintah memutuskan membeli alat tes Corona untuk nelakukan rapid test. Dan ternyata alat itu tidak diberikan secara gratis kepada RS. Mereka harus membelinya meski harganya terjangkau. Bagaimanapun, tetap saja tidak gratis. Ciri khas negara penganut kapitalis. Mau dapat, harus beli. Untung rugi masih menjadi prioritas di banding pelayanan sepenuh hati untuk rakyat.

Lockdown yang dianggap sebagai solusi preventif paling layak saat ini tak kunjung dilakukan. Atas pertimbangan ekonomi, pemerintah mengambil opsi lain. Yaitu melakukan tes massal dengan rapid test. Padahal rapid test sendiri menurut para dokter tak memberi jaminan menghalau penyebaran Corona. Tingkat sensitivitasnya hanya 36 persen. “Sensitivitas tes serologi itu sekitar 36 persen, kalau tidak salah. Jadi dari 100 kasus yang terkonfirmasi COVID-19 dia bisa mendeteksi sekitar 30. Jadi itu harus hati-hati,” ucap Ahmad Rusdan Handoyo Utomo dalam jurnal berjudul ‘Antibody Responses to SARS-COV-2 in patients of novel coronavirus disease 2019’, sebagaimana dilansir detik.com, 20/3/2020.

Semua ini terjadi karena krisisnya kepemimpinan. Pemimpin tidak tegas, lemot, dan tidak sigap. Malah terkesan santai dan ‘easy going.’ Krisis kepemimpinan di tengah kritisnya Corona menjadi-jadi manakala makin banyak korban terpapar virus Corona, bertambahnya korban meninggal, meski 20 orang dinyatakan sembuh.

Visi kepemimpinan yang tidak jelas, miskin teori, dan minim aksi menjadikan negeri ini seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak tahu harus mengadu pada siapa. Harus berlindung dengan apa. Dan harus mengeluhkan derita ke mana. Corona mengingatkan kita betapa pentingnya pemimpin bervisi mulia, amanah, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan berkomplot dengan penjajah. Atau memberi angin surga untuk para kapitalis penjerat utang dengan kedok investasi. Semoga badai krisis pemimpin segera berakhir. Kondisi virus Corona yang kian kritis segera pergi. Tergantikan oleh pemimpin dan sistem yang mampu mengayomi dan peduli pada rakyat. Berkah langit di dapat, bumi mendapat rahmat, dan rakyat selamat.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button