Kriteria Pilih Pemimpin yang tak Menyengsarakan
Pertama: Pemimpin harus seorang Muslim. Sama sekali tidak sah kepemimpinan negara diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib pula menaatinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat an-Nisa’ [4]: 141. Pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah. Karena Allah telah mengharamkan adanya jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin maka haram hukumnya kaum Muslim menjadikan orang kafir sebagai penguasa atas mereka.
Kedua: Pemimpin harus seorang laki-laki. Hal ini berdasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Bakrah yang berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW. bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. (HR al-Bukhari).
Ketiga: Pemimpin harus balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasul SAW. pernah bersabda: Telah diangkat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh. (HR Abu Dawud). Orang yang telah diangkat pena (beban hukum, peny.) darinya tidak sah mengelola urusannya. Karena itu, ia tidak sah menjadi pemimpin karena ia tidak memiliki hak untuk mengelola berbagai urusan.
Keempat: Pemimpin harus orang yang berakal. Sebab, akal merupakan tempat pembebanan hukum dan syarat bagi absahnya aktivitas pengaturan berbagai urusan, sedangkan pemimpin jelas mengatur berbagai urusan pemerintahan dan melaksanakan penerapan beban-beban syariah.
Kelima: Pemimpin harus seorang yang adil. Adil merupakan syarat yang harus dipenuhi demi keabsahan kepemimpinan Islam dan kelangsungannya. Sebab, Allah SWT telah mensyaratkan— dalam hal kesaksian, ed.—seorang saksi haruslah orang yang adil. Allah SWT telah berfirman: ….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian…. (TQS ath-Thalaq [65]: 2). Orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada seorang saksi adalah pemimpin. Karena itu, lebih utama lagi jika ia harus seorang yang adil. Sebab, jika sifat adil telah disyaratkan bagi seorang saksi, tentu sifat ini lebih utama lagi jika disyaratkan bagi pemimpin.
Keenam: Pemimpin harus orang merdeka. Sebab,seorang hamba sahaya adalah milik tuannya sehingga ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Tentu saja ia lebih tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan orang lain, apalagi kewenangan untuk mengatur urusan manusia.
Ketujuh: Pemimpin harus orang yang mampu. Pemimpin haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah. Sebab, orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yang berdasarkan keduanyalah ia dipilih.
Selain tujuh syarat di atas, Islam juga memandu agar memilih calon pemimpin yang jujur dan tidak zalim. Terkait hakikat pemimpin harus jujur HR Bukhari dan Muslim menjelaskan: “Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat, mati pada hari dia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya”. Mengenai definisi pemimpin zalim itu sendiri, yang dimaksud adalah mereka yang dalam kepemimpinannya tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan Alquran (Al Maidah ayat 55).
Deretan kriteria di atas, –yang hanya bisa tertunaikan semupurna jika dalam satuan sistem Islam– setidaknya akan melahirkan sosok pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Ia tak akan tamak urusan dunia dan menimbun kekayaan pribadi. Ia akan berpikir panjang jika akan berbuat curang, sebab ia menyadari apapun yang dikerjakannya dalam kapasistasnya sebagai pemimpin umat akan berimbas pada kesejahteraan umat. Sebisa mungkin kendali ketaqwaan yang dimilikinya akan menuntunnya untuk menjadi sosok pemimpin yang tidak menyengsarakan. [Arin RM]