Kritik Keras Buya Hamka kepada Soekarno
Peri Kemanusiaan: dalam praktiknya orang-orang yang dicemburui, dibenci dan dipandang akan menghalangi langkah-langkah mereka meneruskan kezaliman itu.
Sampai Sutan Syahrir mati dalam status tahanan. Mereka ditahan, kadang-kadang rumah kediamannya dirampas dan dengan seenaknya didiami oleh khadam-khadam (pembantu) para pembesar itu. Benar-benar berlaku di negeri ini sebagai yang berlaku berates tahun yang laludi zaman kekuasaan raja-raja tidak terbatas, yang nasib malang akan menimpa orang yang dibenci oleh pihak istana. Dan anak istri orang yang ditahan itu dibiarkan melarat.
Alangkah banyaknya paradoks di dalam negara yang berdasar Pancasila di zaman itu. Mobil mewah pejabat meluncur di atas jembatan, sedang dibawahnya tidur orang-orang yang kehabisan tenaga buat hidup. Yang di atas menikmati rasa kemerdekaan, yang di bawah terlempar ke dalam lumpur kehinaan sejak negara merdeka.
Disorak-soraikan amanat penderitaan rakyat. Alangkah seramnya jika dikaji bahwa kata-kata Amanat Penderitaan Rakyat itu diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri, padahal merekalah yang mengkhianatinya.
Mereka belum merasa puas kalau belum ada undang-undang untuk menyikat bersih dari masyarakat orang-orang yang dibenci, sedang kesalahan mereka yang terang tidak ada. Lalu diadakan Penetapan Presiden (Pen-Pres) buat menangguk sisa-sisa orang yang dibenci yang masih tinggal, orang-orang yang dipandang masih ada pengaruhnya dalam masyarakat. Dengan “dugaan saja, walaupun tidak ada bukti sama sekali orang bisa dibenamkan ke dalam tahanan. Itulah Pen-Pres No 11 yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang Subversif…
Indonesia benar-benar menjadi “Mercusuar” dari kebrobokan. Indonesia diteropong, bahkan di mikroskop oleh bangsa lain, lalu menjadi tertawaan. Tetapi surat-surat kabar yang memuat berita tentang kebrobokan dilarang masuk Indonesia.
Sebentar-sebentar diadakan pidato, rapat raksasa, rapat samudera.
Diobati perut yang lapar dengan pidato, diobat jalan-jalan yang rusak dengan pidato. Rakyat dikerahkan dengan segala macam daya upaya supaya dari subuh sudah berangkat ke tanah lapang mendengarkan pidato.
Perusahaan-perusahaan wajib menutup usahanya dan mengerahkan buruhnya pergi mendengarkan pidato. Produksi menurun karena hari habis untuk mendengarkan pidato…
Berdirilah gedung-gedung monument, patung-patung yang tidak akan dapat mengenyangkan perut rakyat, yang hanya akan ditegahkan (dipertunjukkan) kepada tamu luar negeri, padahal kalau tetamu itu datang, sasaran tustel mereka bukanlah monument dan patung, melainkan rakyat yang tidur di dalam pipa air yang belum dipasang atau mandi telanjang di kali Ciliwung.” (Baca juga: Hitam Putih Presiden Soekarno)