Kualitas Pemilu 2019: Tanpa Visi Misi Penuh Kisi-Kisi
Memang agak rumit untuk menjelaskan sistem pemilihan Presiden AS, karena disatu sisi rakyat diminta untuk memberikan pilihan, tapi pilihan mereka belum tentu akan menjadi hasil akhir dari keputusan siapa yang akan menjadi presiden.
Esensi dari sistem pilpres di AS adalah pertarungan antara 51 negara bagian (termasuk Washington DC). Selain itu, pilpres di negara ini menggunakan sistem pemilu tidak langsung karena perolehan suara terbanyak tidak bisa memutuskan siapa presiden berikutnya sehingga, dalam sejarahnya, pilpres Amerika mengalami beberapa peristiwa di mana presiden pilihan rakyat tidak bisa menjabat di Gedung Putih.
Kualitas Pemilu Indonesia
Amerika Serikat adalah contoh pemilihqan bagi banyak negara moderen. Tetapi di Indonesia pemilihan Presiden sangat tidak mencerminkan permusyawaratan. Kualitas yang dilahirkan dari pemilihan umum di Indonesia belum bisa dinilai sepenuhnya bagus, karena demokrasi Indonesia masih sangat prosedural dan belum memasuki substansi demokrasi. Indonesia masih terjebak dalam konstelasi tahunan yang merupakan euforia lima tahunan. Pemilu belum sepenuhnya untuk mencari pemimpin yang memiliki kompetensi untuk memajukan bangsa dan negara, malah untuk memperpanjang kekuasaan ‘oligarki’ tertentu.
Euforia demokrasi seperti itu bertentangan dengan spirit demokrasi. Dimana demokrasi dihiasi dengan dominasi politik dinasti, diperkuat oleh transaksi politik yang tidak sedikit. Transaksi politik itu menjadi rahasia umum dalam pemilu Indonesia, dimana peserta pemilu melakukan ‘jual beli suara’ untuk mendapatkan kursi, baik itu sebagai anggota legislatif bahkan sampai pemilihan presiden.
Ukuran seorang terpilih atau tidak, tergantung dari modal finansial, bukan modal politik, seperti trust, jaringan, kemampuan, integritas, elektabilitas dan popularitas, tapi berdasarkan pada besarnya bayaran dan transaksi uang. Hal yang demikian dimulai dari partai politik hingga pada proses untuk mendapatkan pemilih, sampai para pergitungan hasil pemilu.
Maka, untuk mengukur legitimasi sosial bagi mereka yang memperoleh kedudukan politik sangat sulit. Bahkan legitimasi politik itu masih diragukan, apakah ini adalah hasil dari capaian politik yang sebenarnya, atau hanya capaian politik transaksional. Jadi legitimasi ini sangat diragukan.
Pada akhirnya memunculkan satu kelas sosial yang agak jauh dalam masyarakat. Kelas elit akan datang kepada rakyat hanya karena kepentingan dalam periode tertentu. Maka yang tercipta sebuah jurang antara massa dan elit. Dengan terpisahnya massa dengan elit justru memunculkan kelas-kelas sosial. Tentu ini akan memisahkan elit dengan massanya. Kenapa terpisah? Karena elit yang sesungguhnya, yang mengakar kuat dalam masyarakat, yang tidak memiliki modal finansial akan tergeser dengan sendirinya, bahkan yang lebih mengerikkan, tergeser pada hasil perhitungan akhir penyelenggara pemilu. Ini miris.