Kualitas Tidur Pengaruhi Kesehatan Otak dan Risiko Demensia

Gangguan tidur yang terjadi selama bertahun-tahun dan pembilasan otak yang tidak tuntas, yang dikenal sebagai kegagalan glimfatik, dapat mempercepat timbulnya demensia menurut Dr. Maiken Nedergaard, seorang profesor neurologi di University of Rochester Medical Center yang meneliti sistem glimfatik.
Sebuah studi tahun 2017 yang melibatkan lebih dari 300 orang berusia di atas 60 tahun menemukan bahwa durasi tidur REM malam yang lebih pendek dan waktu yang lebih lama untuk mencapai fase REM dalam setiap siklus tidur merupakan prediktor demensia di kemudian hari.
Menurut Dr. Pase, yang ikut menulis studi, hal itu bisa jadi karena REM “sangat penting” untuk menyimpan dan memproses ingatan.
Kehilangan kapasitas itu melemahkan pertahanan otak terhadap penurunan kognitif dan dapat mempercepat atrofi di bagian otak yang tidak digunakan, katanya sebagaimana dikutip dalam artikel The New York Times.
Namun, ia mengatakan, sulit untuk mengungkap hubungan sebab akibat antara kurang tidur dan demensia.
Ia menjelaskan bahwa orang dewasa, terutama perempuan, secara alami menghabiskan lebih sedikit waktu dalam tidur nyenyak dan REM seiring dengan bertambahnya usia.
Para ilmuwan sudah tahu bahwa penuaan itu sendiri meningkatkan risiko demensia, tetapi demensia juga cenderung memperburuk tidur. Ada kemungkinan kedua proses itu “saling terkait”, katanya.
Dr. Roneil Malkani, seorang profesor madya kedokteran tidur di Feinberg School of Medicine, Northwestern University, menyampaikan bahwa berupaya untuk meningkatkan kualitas tidur tidak ada ruginya.
Menurut dia, berusaha tidur sekitar tujuh jam setiap malam adalah langkah termudah yang dapat dilakukan. “Itu memberi otak cukup waktu untuk melewati tahapan antara empat dan tujuh kali,” katanya.
Zsofia Zavecz, seorang peneliti pascadoktoral di Adaptive Brain Lab University of Cambridge, menyampaikan bahwa orang dapat tidur lebih mudah kalau punya waktu tidur dan bangun yang konsisten.
Ia juga mengatakan bahwa melakukan apa pun yang “secara bermakna melibatkan otak untuk sementara waktu”, seperti mempelajari keterampilan baru, dapat melelahkan bagian otak tertentu dan meningkatkan kebutuhan mereka untuk tidur gelombang lambat yang memulihkan.
Sementara itu, Dr. Nedergaard menyampaikan bahwa berolahraga dapat membuat orang tetap aktif secara mental dan meningkatkan aliran darah ke otak, yang membantu dalam pembersihan glimfatik. “Meminimalkan stres juga mempercepat prosesnya,” katanya.
Dr. Pase mengatakan bahwa secara umum menyisihkan cukup waktu untuk tidur adalah cara terbaik untuk memastikan otak mencapai tahap yang lebih dalam, dan tergantung pada defisit, otak mungkin menghabiskan lebih banyak waktu dalam REM atau tidur nyenyak. “Biarkan otak melakukan tugasnya, dan ia akan bekerja sesuai kebutuhannya,” kata dia. []
sumber: ANTARA