Lawan Kebijakan Kelistrikan Liberal: Hentikan Skema Power Wheeling!
Kerugian ini terutama terjadi pada: 1) peningkatan subsidi listrik di APBN dan 2) mahalnya tarif listrik, yakni lebih mahal dari yang seharusnya jika kebijakan yang diambil sesuai konstitusi dan kepentingan mensejahterakan rakyat. Kerugian akan bertambah jika skema power wheeling diterapkan. Mengapa negara dan rakyat rugi?
Pertama, dengan konsep MBSS, IPP yang umumnya dimiliki oleh pengusaha oligarkis, dibolehkan membangun pembangkit-pembangkit listrik, dan PLN wajib membeli listrik yang diproduksi IPP. Karena biaya pokok penyediaan (BPP) listrik harus memperhitungkan seluruh daya yang dibangkitkan, maka over supply listrik swasta tersebut telah membuat BPP listrik naik, dan ujungnya rakyat konsumen listrik dan APBN harus membayar tarif lebih mahal.
Kedua, setelah wajib menerima pasokan listrik IPP, PLN pun harus membeli listrik tersebut dengan harga sesuai skema take or pay (TOP). Dengan TOP, PLN harus membeli listrik IPP lebih lebih besar dari yang dibutuhkan.
Hal ini pun menambah beban biaya operasi yang berujung pada kenaikan BPP, tarif listrik dan beban subsidi APBN. Bahkan dalam kondisi kahar (force majeure) akibat pandemi korona, yang mestinya bisa menjadi alasan pengurangan beban biaya, pemerintah tak mampu memaksa IPP mengoreksi skema TOP.
Ketiga, dengan skema power wheeling, di samping over supply listrik yang telah mencapai 50% s.d 60% (seharusnya cukup sekitar 20%) tidak akan terserap atau berkurang signifikan, maka pelanggan premium PLN yang biasanya mengkonsumsi daya besar pun dan menguntungkan PLN, akan dimangsa oleh IPP. Maka, pangsa pasar atau pendapatan PLN akan turun dan sebaliknya: 1) tarif listrik akan naik, 2) kemampuan cross-subsidy PLN ke daerah-daerah terpencil atau rendah konsumen akan berkurang, dan 3) beban subsidi listrik APBN akan naik.
Keempat, pemanfaatan sarana jaringan transmisi dan distribusi PLN oleh IPP akan membuat IPP penyedia listrik EBT memperoleh untung besar (transfer profit). Padahal PLN harus menanggung beban investasi sarana tersebut secara berkepanjangan, termasuk jika kurs US$/Rp terus naik. Apalagi jika tarif power wheeling yang diterapkan sesuai daya yang disalurkan, dan bernilai “alakadarnya”, namun sekaligus mengandung unsur pemaksaan seperti pada skema TOP. Maka PLN sebagai objek berburu rente oligarki akan berlangsung massif.
Kelima, konsep MBMS dan skema power wheeling merupakan kelanjutan dari agenda “liberalisasi terselubung” kelistrikan Indonesia yang sebelumnya telah dimulai dengan konsep MBSS dan penjualan listrik kawasan dan lingkungan tertutup.
Dengan MBMS dan power wheeling, liberalisiasi kelistrikan Indonesai menjadi lengkap dan sempurna. Maka rezim oligarkis dengan sangat berani dan terbuka akan mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.
KESDM mengatakan kondisi over supply listrik tidak ada kaitan dengan implementasi power wheeling. Sebab, katanya kelebihan listrik berasal dari pembangkit eksisting yang didominasi PLTU batubara PLN sendiri (21/10/2022).
Padahal pemerintahlah yang memaksa PLN membeli listrik PLTU batubara milik IPP, sehingga terjadi over supply. Bahkan dalam proyek 35.000 MW, lebih dari 90% menggunakan PLTU batubara yang mayoritas dibangun IPP.
Proyek 35.000 MW dibangun setelah terbitnya PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam KEN tersebut telah tercantum ketentuan porsi EBT 23% dalam bauran listrik nasional. Namun demi kepentingan oligarki, kebijakan tersebut tidak digubris.