Lembaga Presiden Itu Sudah Dilecehkan
Ironis dan paradoks. Hanya untuk membentuk paslon Presiden yang satu ini. Sebangsa dan setanah air dibuat geger setengah mati.
Diawali sajian tontonan dramaturgi penuh intrik, friksi dan konflik.Alias, drama kotor politik.
Betapa kentara praktik kolusi dan nepotisme dilakukan dengan kasat mata telanjang.
Pun betapa kental merekat dan melekat kecurangan, kelicikan dan keculasan itu diperagakan.
Tak dinyana dan tak disangka civiliance Indonesia governance melalui periodisasi kepemimpinan Jokowi itu berubah 180 derajat menjadi otoritarianisme dari suatu negara machstated. Jauh panggang dari api negara rechstated.
Sudah menggerus segala kewenangan lembaga dan komisi tinggi negara seluruhnya di bawah kendalinya.
Maka, hanya kurang dari dua pekan sebelum pendaftaran paslon tetap ke KPU. Praktik kekuasaan kotor nepotis politik dinasti berhasil dipampaskan dan diterabaskan dengan paksa. Melabrak dan membablas konstitusi.
Seraya ibarat “senjata laras panjang” yang ditodongkan di dahi kepala: tersandera dan menyandera koalisi partai, MK, MK-MK, MA dan fraksi DPR menjadi bertekuk lutut bak menyerah menyaksikan tindak merampok kekuasaan. Jadilah, Prabowo-Gibran paslon Presiden.
Lantas, pertanyaannya masih adakah tersisa suatu kepantasan, kepatutan, kepatuhan dan kepanutannya paslon Presiden ini bersama kroni dan koloninya itu menjalani kontestasi transisi kepemimpinan yang sesungguhnya dan seharusnya secara demokratis itu?
Rasa-rasanya sudah tidak ada. Urat malu dan kendali hawa nafsu syahwat sudah dibrangus oleh ambisiusisme buta kekuasaan.
Akan lebih ironis dan paradoks lagi bila kita melihat lebih jauh. Betapa tindak penyelewengan dan penyimpangan terhadap konstitusi hanya dianggap pelanggaran kode etik.
Justru ketua lembaga MK yang mengambil keputusan itulah dalam sidang kode etik MK-MK yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran berat kode etik hanya dikenakan berupa pencopotan jabatan belaka.