SILATURAHIM

Lintasan Perjuangan KH Mas Abdurrahman

KH Mas Abdurrahman lahir di Janaka pada 1875. Ia merupakan putera dari Mas Jamal al Janakawi. Nasabnya tersambung sampai ke orang pertama masuk Islam di tanah Banten dan pengikut setia Sultan Maulana Hasanuddin, Ki Mas Jong dan Ki Mas Ju.

Janaka merupakan kampung di kaki gunung Aseupan, panorama alam yang asri mengayun Mas Abdurrahman kecil belajar agama dari seorang ayahnya. Beliau belajar mengaji, shalat, dan persoalan peribadatan lainnya melalui ayahnya. Tidak hanya belajar keIslaman dari ayahnya saja, beliau mengenyam pendidikan Islam tradisional berbasis pondok pesantren di daerah-daerah, seperti umum halnya santri-santri lokal yang survive dari pesantren ke pesantren.

Ia berpetualang memperdalam ilmu agama, pesantren Kiai Ruyani dan Kiai Shohib, yang tak jauh dari Janaka, Kiai Maimun dan Kiai Arif di Sarang, Jawa Tengah adalah beberapa pesantren sebelum ia memparipurnakan studinya di Makkah Al-Mukaramah. (Didin Rosidin: 2018)

Di Makkah, ia berguru pada ulama masyhur asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khotib Al-Minangkabawi. KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah teman sejawat dengan KH Mas Abdurrahman ketika studi di Makkah al Mukaramah.

Etische Politiek, Berawal dari Kebijakan Ini

Indonesia di abad ke-20 berada dalam dominasi imperialisme kolonial Belanda. Kondisi ini membuat keadaan rakyat Indonesia memburuk dan berada dalam penuh tekanan. Di sisi lain kolonialisasi yang dilakukan Belanda terus mendapatkan keuntungan, upeti dari rakyat, pajak dari rakyat dinikmati oleh Belanda.

Di awal abad ke-20 ini kaum Sosialis Belanda menekan Ratu Wilhemina agar mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat kolonial. Awalnya adalah pidato Ratu Wilhelmina di Staten Generaal pada 1901 yang kemudian menjadi muncul ide Etische Politiek, suatu kebijaksanaan politik Belanda yang lebih memperhatikan pribumi. Tanggung jawab moral Belanda atas Hindia Belanda.

Ini sedikit membuka kran harapan kemajuan. Klaimnya kebijakan politik etis muncul sebagai jawaban bahwa pemerintah Belanda saat itu punya tanggung jawab secara moral untuk kesejahteraan warga jajahan, peningkatan taraf hidup dan strata sosial masyarakat kolonial yang dianggap berada di paling bawah.

Pendirian secara besar-besaran sekolah baru pribumi di pelosok desa adalah bagian dari kebijakan politik etis. Tapi, yang ambil bagian dalam program pendidikan ini mengalami presentase rendah. Adanya fatwa haram atau kurang Islami, khawatir akan misi kristenisasi, orientasi sekuler, dan ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi biaya operasional (SPP) sekolah pribumi adalah beberapa alasan program politik etis kurang diperhatikan oleh masyarakat pribumi. Kebijakan ini tidak memberi ruang yang bebas bagi pribumi dan daya serapnya masih kecil.

1 2 3 4 5Laman berikutnya
Back to top button