RESONANSI

‘Loneliness’ Jokowi

Putri Ariani begitu luar biasa mengharumkan nama Indonesia. Menyabet Golden Buzzer di ajang bergengsi American Gets Talent.

Putri Ariani yang berkemampuan disabilitas menciptakan sendiri lagu “Loneliness”, justru membuat namanya sangat populer hingar-bingar di seantero dunia.

Tetapi sebaliknya, tidak demikian dengan Jokowi yang sehat sepenuhnya, ketika kekuasaannya tersisa 16 bulan lagi menuju kelengserannya, justru Jokowi pasti tengah dan akan merasakan “kebenaran” dan “kesungguhan” makna “Loneliness” itu.

Itu dikarenakan kesalahan dirinya mengambil keputusan politik yang sangat berbahaya, sekalipun seotoriter mungkin kekuasaannya. Merekayasa perpanjangan tiga periode, melakukan penundaan dan atau melakukan “cawe-cawe” keberpihakan dalam Pemilu/Pilpres 2024, itu semua adalah melanggar hukum tertinggi konstitusi UUD 1945 atau semua UU turunannya.

Dan yang menyuarakan pertama paling lantang menentang ketiga hal tersebut, justru “Ibu Suri” yang telah membuat mandat kepada “petugas partai” bagi dirinya, Megawati Soekarnoputri, pemilik PDIP.

Boleh jadi ketika tiba-tiba Puan Maharani berencana harus bertemu AHY —meski sebagian banyak pengamat politik menduga sebagai langkah jahat akhir menjegal Anies— sebaliknya, secara husnudzon itu pun bisa ditebak sebagai langkah kebijakan progresif PDIP menghadang dan menghalangi upaya licik terhadap adanya langkah manuver politik paling keji dilakukan oleh Moeldoko selaku KSP menjegal Anies — yang tidak mungkin Jokowi tidak tahu —dengan “merekayasa” meloloskan PK “Partai Demokrat” ujug-ujug dan buatan yang dipimpin dirinya. Sehingga, Partai Demokrat asli terbubarkan dari KPP bakal batal mengusung Anies.

Itu semua dirasakan oleh Megawati sebagai “tindakan paling bodoh” yang dilakukan oleh seorang “Putra Mahkota” petugas partai yang memang semakin mendekati masa kepemimpinannya semakin “bandel” dan “brengsek”, banyak melakukan hal keblabasan dan menabrak rambu-rambu konstitusi.

Seorang wanita pemimpin sekaliber Megawati tentu memiliki perasaan kesensitifan yang tinggi, terlebih setelah Jokowi “menyerahkan” bacalon Presiden Ganjar Pranowo kembali ke sarang PDIP. Itupun sebagai bentuk Megawati mengalah, legowo melepas trah legacy kepemimpinan Sokarnoismenya.

Namun, kemudian tak henti bak “bunglon yang sering meloncat” Jokowi juga melakukan cawe-cawe keberpihakannya kepada bacalon lain Prabowo Subianto, telah menyentuh “ketersinggungan” dan “melukai hati” Megawati seolah Ganjar Pranowo itu “diserahkan” dan “dibuang” begitu saja ibarat baju yang sudah tak berguna “Gombal Politik” atau “Politik Gombal” rayuan receh penuh basa basi yang dikarenakan belum tentu dan harus teruji terlebih dahulu bagaimana keberkembangan dan keberkemajuan tingkat elektoralnya yang perlu “dibina” insten agar benar-benar semakin moncer —yang mungkin menurut Megawati itu merupakan bagian kinerja kelanjutan —sebagai wujud loyalitas dan tanggung jawab Jokowi juga. Tetapi siapa nyana Jokowi kan pengemban jabatan bergengsi seorang Presiden? Yang mungkin juga tak mudah diatur?

Dan jikalau perasaan sensitivitas Megawati ini disadari betul oleh Jokowi yang tengah jumawa “keblabasan” itu, Megawati itu sebenarnya bertujuan memiliki “good will”. Bahkan, ingin menunjukkan kesungguhan sejatinya kasih sayang seorang ibu:

Jangan sampai hingar bingar banyak komponen aliansi rakyat yang beroposisi terhadapnya sudah tak tertahankan melihat situasi dan kondisi semakin buruk dan rusaknya kepemimpinan Jokowi itu mengamuk, melakukan “sidang pengadilan” di jalanan dengan tidak hormat, atau dengan melakukan kudeta dengan hormat dikarenakan kedaulatan rakyat memiliki hak konstitusional “People Power”.

Yang berakibat makna “Loneliness” itu sungguh-sungguh akan terjadi dialami sebagai suatu keniscayaan dikarenakan kemudian Jokowi menjalaninya di penjara! Wallahua a’lam Bishawab. []

Mustikasari-Bekasi, 14 Juni 2023

Dairy Sudarman, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Artikel Terkait

Back to top button