Jakarta (SI Online) – Ada sebagian kalangan yang masih mempertanyakan tentang transparansi biaya sertifikasi halal yang dilakukan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI).
Pertanyaan ini pun kerap keluar seiring bergulir waktu, dan disadari atau tidak, hal ini terus berulang selama beberapa tahun ini. Padahal, dalam biaya sertifikasi halal, besaran biaya sesuai dengan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad.
“Sebetulnya yang dimaksudkan tidak transparan di sini seperti apa, perlu dipetakan sedemikian rupa sehingga persepsi berbagai pihak tidak terpecah, sehingga akan fokus pada solusi dan sertifikasi halal pun akan berjalan dengan mulus tanpa ada persepsi negatif yang terus menghantuinya,” tulis LPPOM MUI dalam website resminya, halalmui.org, dikutip Selasa 6 Oktober 2020.
Karena bagaimanapun juga sertifikasi halal harus terus berjalan seiring dengan telah efektif berlakunya Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mewajibkan semua produk yang diproduksi, diedarkan, dijual di Indonesia bersertifikat halal.
Pada prosesnya, UU JPH ini melibatkan setidaknya tiga pihak dalam pelayanan sertifikasi halal, yakni: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
LPPOM MUI yang berdiri sejak 31 tahun lalu merupakan salah satu LPH yang melaksanakan pemeriksaan kehalalan bahan dalam suatu proses produksi. Dalam pemeriksaannya, LPPOM MUI bersifat independen tanpa ada intervensi pihak manapun, termasuk MUI.
LPPOM MUI akan melaporkan hasil pemeriksaannya kepada MUI untuk difatwakan status hukumnya apakah suatu produk telah memenuhi persyaratan halal atau belum.
LPH, khususnya LPPOM MUI, bukanlah instansi atau lembaga pemerintah. Karena itu, dalam menjalankan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh karenanya, dalam pelaksanaan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI memberlakukan biaya tertentu kepada perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal.
“Hal ini sama halnya dengan lembaga sertifikasi lainnya, misal sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya. Namun, besaran biaya sesuai dengan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad,” terang Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim, M.Si.
Lukman menegaskan, proses pembiayaan di LPPOM MUI dilakukan dengan sangat transparan, akuntabel dan dapat dipertanggung jawabkan. Jika ada sebuah anggapan bahwa biaya sertifikasi halal tidak transparan, maka hal ini merupakan tuduhan yang tidak mendasar. Bagaimanapun juga kedua belah pihak, baik LPPOM MUI maupun perusahaan sama-sama mengetahui biaya yang dikeluarkan dan disepakati dalam bentuk akad pembayaran sertifikasi halal.
Dalam akad tersebut, lanjut Lukman, biaya penetapan halal oleh MUI meliputi biaya jasa profesional auditor halal, biaya audit, biaya penetapan halal. Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Halal Online LPPOM MUI Cerol-SS23000. Hal ini merupakan bentuk transparansi LPPOM MUI kepada perusahaan. Tidak ada biaya yang ditutup-tutupi, sehingga perusahaan tahu betul peruntukan atas biaya yang dikeluarkannya.
Sementara itu, untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.
Dengan pengelolaan biaya sertifikasi halal yang sudah transparan seperti tersebut di atas, maka penilaian laporan keuangan LPPOM MUI disebut terus memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Red: shodiq ramadhan