Luka Tak Terlihat di Balik Seragam Sekolah

Masa remaja adalah fase yang sangat krusial dalam kehidupan. Masa ini menjembatani antara dunia anak-anak yang masih sangat naif menuju dunia dewasa yanh begitu kompleks. Dalam fase remaja, mereka menghadapi perubahan fisik, emosi yang kadang belum bisa dikontrol stabil, dan pemikiran yang luas terhadap dunia luar.
Mencoba mencari jati diri dan menguatkan ketika tekanan terus menimpa di lingkungan mereka. Sifat ingin diakui, ingin diterima sudah mulai muncul, bahkan banyak juga yang terjerumus dalam perilaku menyimpang sehingga merugikan diri sendiri maupun orang lain. Salah satu bentuk penyimpangan yang saat ini memprihatinkan adalah perundungan atau bullying.
Kasus bullying bukanlah sebuah kenakalan yang biasa. Dengan adanya ini dapat menghancurkan rasa percaya diri seseorang secara berlahan, baik itu kekerasan secara fisik maupun verbal. Mirisnya, fenomena ini sudah menjadi makanan setiap hari di lingkungan sekolah.
Seseorang yang mem-bully sering tidak sadar atas perbuatan serta dampak yang didapatkan akibat sikap mereka. Hinaan, ejekan, olok-olokan, bahkan perilaku kasar mereka anggap sebagai candaan biasa. Padahal sebagai korbanya merasakan luka yang dalam, tak terlihat oleh mata, dan hanya membekas di dalam hatinya.
Menurut Komnas HAM (Hak Asasi Manusia), perundungan atau bullying adalah kekerasan fisik dan mental jangka panjang yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu membela diri, dalam keadaan itu terdapat keinginan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang lain atau melakukan perampasan. Sehingga dapat menimbulkan depresi, trauma atau tertekan. Banyak dari korban yang merasa seperti itu, tetapi mereka memilih diam karena takut atau bahkan mereka tidak menyadari kalau menjadi korban.
Kenyataannya, di sekolah banyak anak yang merasa bahwa dirinya lebih kuat, lebih kaya, lebih pintar, atau mungkin lebih lainnya. Mereka yang merasa di atas itu menindas teman yang mereka pandang lebih lemah, miskin, pendiam, berbeda pemikiran, atau mungkin yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Perbedaan yang seharusnya menjadi sebuah keunikan antara satu dengan yang lainnya, justru menjadi alasan untuk mem-bully dan mengucilkan. Mereka lupa bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku yang berbeda supaya saling mengenal, menyayangi, menghargai, bukan untuk saling merendahkan.
Fenomena bullying bukan hanya masalah hubungan individu, tetapi pada masalah krisisnya moral. Mereka krisis empati dan kepedulian. Ketika ada orang menangis mereka malah tertawa. Ada orang yang kesusahan malah mengejeknya. Hal itu menandakan mulai lunturnya nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar paling nyaman dan menyenangakan bagi anak-anak justru menjadi tempat paling menakutkan dan membuat batinnya terluka.
Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena ini?
Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan, tetapi Islam juga mengatur hubungan dengan sesama. Islam adalah agama yang sangat cinta perdamaian, menjunjung tinggi martabat setiap individu tanpa memandang apapun.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah akan menjauhkan api neraka dari wajahnya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).
Dalam hadis ini mengandung pesan yang sangat kuat untuk saling menghormati antara satu dengan yang lainnya. Tidak merendahkan, mempermalukan, atau bahkan mengolok-olok orang lain.
Lebih jauh lagi, Islam menempatkan kehormatan dan perasaan seorang mukmin pada posisi yang sangat mulia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang menyakiti seorang mukmin maka sungguh ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku, sungguh ia telah menyakiti Allah.” (HR. Thabrani).