Mahkamah Kejahatan?
Jika MK ini tidak kaku dan tidak seperti batu, persoalan sangat substansial menuntaskan hukum yang berkeadilan dan memulihkan demokrasi itu —dengan segala kewenangan independensi dan netralitasnya, sesungguhnya sangat sederhana sesederhana bersepakat mengambil keputusan saja. Penulis pun sempat galau dan kesal, hingga menuliskan puisi satire, “Maha Keputusan” tentang MK di situs berita suaraislam.id.
Persoalannya semakin menjadi rumit manakala MK jelas-jelas tidak independen dan netral, lebih berpihak kepada kepentingan rezim penguasa kekuasaan yang sudah pasti melumurinya oli cuan pelicin, meskipun bukan dari APBN yang bisa jadi dilacak KPK, tapi dari para kongsi oligarki yang bermau-mau karena ada kepentingan. Nah, kalau cara ini mana bisa terlacak radar KPK, BIN sekalipun.
Makanya, setiap ada diskusi dialektika dan diskursus oleh para tokoh politik, pengamat, bahkan para ahli hukum ketatanegaraan selalu tak luput bahasa nyinyir ke MK ini karena energi berpikir positif dan rasional mereka sudah habis, lebih banyak terbuang percuma kepikiran dengan kelakuan MK yang masih tetap bengis-bergajul dan egois-semau gue kan?
Terbuncahlah kemudian tak tertahankan menyinyir singkatan MK, jadi Mahkamah Komplotan, Mahkamah Koplok, Mahkamah Kardus, Mahkamah Korupsi, bahkan ketika penulis pulang mudik ke kampung di obrolan warung, ada istilah Mahkamah Kuntet, bukan karena Ketua MK Anwar Usman itu terbilang kuntet alias pendek, tetapi maksudnya kinerjanya MK hanya untuk kepentingan jangka pendek saja. Hal-hal instan. Padahal, jika MK itu kinerjanya untuk kepentingan jangka panjang, artinya segala proses pembenahan terhadap aturan perundang-undangannya menjangkau kepentingan kebutuhan jauh ke depan, kan enak sembilan hakim tinggi MK itu jadi tinggal uncang-uncang kaki banyak nganggurnya.
Tetapi dari semua kenyinyiran singkatan MK yang paling populer dan viral di medsos, adalah Mahkamah Keluarga, gegara Anwar Usman jadi adik ipar Jokowi, menikah dengan adik kandungnya, Idayati.
Ini sungguh mengejutkan publik: Indonesia yang sudah terbiasa dengan kultur keluarga itu seringkali semakin merusak tatanan kinerja secara etis dan profesional, terlebih terkait jabatan Presiden dengan dan antara lembaga tinggi negara, adalah super sangat sensitif kohesi politiknya.
Jadi, jangan-jangan urusan negara cukup diobrolkan di dapur belakang rumah sambil makan combro ya, Bro!
Maka, dalam suatu kesempatan diskusi via podcast FNN, Bang Rocky Gerung “Sang Maestro Akal Sehat” Indonesia itu untuk mempersiapkan kontestasi Plipres 2024 menjadi relawan akan melawan MK dengan membentuk dan menggalang LBP, Liga Boikot Pemilu. Lebih spesifik pakar komunikasi politik, Effendi Gazali juga akan menggalang pembentukan LBP juga, tetapi Liga Boikot Preshold. Yang lebih vulgar, malah Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattaliti sudah menyarankan agar MK dibubarkan saja, karena buat apa sudah tak ada gunanya lagi.
Penulis lebih bersetuju dengan pengamat politik yang amat kritis, Rizal Fadillah, bahwa MK dengan membiarkan dan tetap mempertahankan Preshold 20% itu merupakan kejahatan politik. Oleh karena itulah penulis terinspirasi untuk menyetempel MK dengan menyinyir singkatan MK, dengan Mahkamah Kejahatan.
Betapa tidak! Jika tetap gugatan persentase Preshold itu tak diturunkan, kejahatannya itu semakin membuncah, tidak saja sebagai kejahatan politik, tetapi kejahatan-kejahatan lain baik pidanan maupun perdata dengan dakwaan berlapis-lapis yang ntah tak ada batasan lapisannya, hingga setiap lembar di Kitab KUHP dan KUHAP terkena seluruhnya.
Bayangkan! Terlebih jika pada akhirnya partai-partai oligarki dengan turunannya, duplikasinya dan atau koloninya itu memenangkan kembali Pilpres 2024, sudahlah pasti MK-lah penyebabnya, otomatis lembaga ini yang akan menjadi terdakwa yang harus mempertanggungjawabkannya.
Maka dari itu, sebelum ini terjadi, penulis ingin menghimbau mulai hari ini kita deklarasikan bersama untuk memohon kepada seluruh profesi pengacara di seluruh Indonesia — mungkin jumlahnya puluhan ribu, untuk demo dan menggugat MK atas seluruh sangkaan kejahatannya di seluruh Pengadilan Negeri di Indonesia dikarenakan bersekongkol dengan mantan rezim menjadikan lagi rezim baru yang sama membuat rakyat yang tengah menderita bakal semakin menderita. Betapa tidak! Akibat semakin menderitanya rakyat, tingkat seluruh kriminalitas meningkat: pencopet, maling, begal, perampok, koruptor, pelacur, pecandu narkoba-bandarnya jadi semakin senang tertawa, dll.
Masa hanya dengan sembilan hakim tinggi mengalahkan puluhan ribu pengacara gabungan berbagai ahli profesi hukum. Masuk akal kan? Wallahu’alam Bishawab.
Babakan Mustikasari, Bekasi, 27 Juni 2022
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.