Mahkamah Penjaga Konstitusi, Bukan Penjaga Angka
Asas Luber dan Jurdil ini merupakan asas yang telah lama diperjuangkan, termasuk Partai saya dulu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Asas Luber dan Jurdil adalah asas konstitusional. Untuk memasukkan asas itu dalam pemilu selama orde baru sangat sulit. Namun asas itu baru dituangkan dalam norma konstitusi setelah reformasi, dan itu merupakan capaian demokrasi dan terwujudnya kedaulatan rakyat yang paling mendasar. Sebab di zaman Orde Baru Jujur dan Adil itu masih menjadi sebatas wacana, belum menjadi norma. Setelah Reformasi asas Luber dan Jurdil dalam pemilu dituangkan dalam bentuk Norma Konstitusi.
Sehingga dengan norma tersebut, Demokrasi dan kedaulatan rakyat dibangun atas dasar nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Kedaulatan rakyat juga tidak akan terwujud apabila kejujuran dan keadilan tidak diselenggarakan oleh negara. Sehingga asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan akan sulit diwujudkan.
Untuk mewujudkan equlity before the law adalah dengan jalan menegakkan kejujuran dan keadilan dalam bingkai demokrasi Indonesia dibangun perdasarkan lima sila dalam Pancasila itu, yang nilai-nilainya berdasarkan pada Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan beradab. Apabila demokrasi dikotori dengan kecurangan, ketidakjujuran dan ketidakadilan, sekecil apapun itu, UUD memberikan perintah kepada Mahkamah untuk mengadilinya dan menyatakan benar itu benar dan salah itu salah.
Mahkamah harus menghindari pembayaran kesalahan atau kecurangan dengan angka perolehan suara pemilu. Sebab kecurangan bukan untuk dibayar dengan angka-angka perolehan suara dalam pemilu, tetapi berdasarkan pada norma dan kaidah hukum yang berlaku. Tegasnya, siapapun yang salah (curang) wajib dihukum. Hukuman bisa berupa diskualifikasi dan pembatalan hasil pemilu.
Karena itulah, Mahkamah harus memeriksa dan mengadili perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini berdasarkan asas pemilu yang konstitusional, bukan sebatas angka-angka belaka. Sekiranya MK hanya mensengkatakan angka, maka asas dan norma Konstitusi tentang pemilu tidak memiliki arti sama sekali, karena yang di persoalkan hanya perselisihan angka. Dengan begitu keputusan Mahkamah akan menjadi keputusan berdasarkan Kalkulasi suara, bukan berdasarkan perintah konstitusi. Maksudnya adalah Mahkamah menilai kecurangan itu berdasarkan angka. Bahwa kecurangan itu dapat di benarkan apabila tidak mampu menutupi angka perolehan suara.
Betapa rusaknya prinsip Negara pancasila kalau saja itu terjadi. Mahkamah yang dianggap sebagai benteng terakhir untuk mengungkap kebenaran, seakan-akan hanya untuk menghitungan kecurangan vs selisih suara. Akhirnya, kalau kecurangan itu terjadi dan dilakukan oleh Pihak tertentu, tetapi tidak mampu menutup perbedaan suara, kemudian Mahkamah memutuskan perkara itu berdasarkan kemenangan angka, maka Mahkamah membiasakan kecurangan dalam demokrasi dan Negara hukum terjadi. Secara otomatis Mahkamah “menghinakan” diri dan tidak pantas disebut sebagai, “the Guardian of The Constitution”. Mahkamah hanya menjadi Mahkamah Kalkulator, bukan Mahkamah KOnstitusi.
MK: Konstitusi atau Kalkulator?
Mahkamah Konstitusi adalah merupakan peradilan yang berdiri sendiri dengan keputusannya yang final and banding. Keputusan Mahkamah adalah keputusan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu, Menyelesaikan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Lain lain yang menjadi tugas Mahkamah.
Yang di uji oleh Mahkamah adalah perkara konstitusionalitas, bukan perkara angka. Kalau Mahkamah terpaku pada Angka maka MK kehilangan marwahnya sebagai penjaga Konstitusi ia menjadi penjaga Angka. Kasarnya MK menjadi Singkatan dari Mahkamah Kalkulator.
Kebiasaan menjaga angka selama ini tidak boleh lagi menjadi fokus Mahkamah. Mahkamah harus mengalihkan perhatiannya pada persoalan Pelanggaran Pemilu yang disebut Sebagai Pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Massif. Apabila itu terbukti, meskipun tidak mampu membalikkan perolehan Suara maka MK harus memiliki terobosan sikap dengan mendiskualifikasi atau membatalkan hasil pemilu.
Tidak bisa lagi MK menganggap bahwa Pelanggaran TSM itu sebagai hal yang tidak perlu hanya karena tidak mampu menutup angka. Sekali lagi saya tegaskan Mahkamah harus mengambil sikap konstitusional dengan tidak memberikan toleransi pada pelanggaran dan kecurangan Pemilu.