SUARA PEMBACA

Makar yang Salah Kamar

Istilah makar kembali populer menyusul ditetapkannya Eggi Sudjana sebagai tersangka kasus dugaan makar atas laporan caleg PDIP Dewi Ambarawati alias Dewi Tanjung. Laporan itu berkaitan dengan video ketika Eggi menyerukan people power dalam orasinya. Pasal makar juga dialamatkan pada dua tokoh pendukung 02 lainnya, yaitu Kivlan Zein dan Permadi.

Tudingan makar juga sempat ditujukan pada kelompok yang dianggap ingin mengganti Pancasila dan NKRI dengan Khilafah. Karena tudingan itu, HTI sebagai ormas yang getol menyerukan ide Khilafah diberangus secara sepihak oleh penguasa. Tanpa penjelasan, tanpa keadilan.

Dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah ‘makar’ memiliki tiga arti, yaitu akal busuk, tipu muslihat. Kedua perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan ketiga perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Guru besar hukum pidana Prof. Hibnu Nugroho mengatakan istilah makar berasal dari bahasa Arab yaitu makron, masdar, yang berarti menipu, memerdaya, membujuk, mengkhianati, mengelabui, perbuatan makar.

Dalam istilah hukum, makar tidak didefinisikan dengan tegas dalam KUHP. Penjelasan-penjelasan makar merupakan istilah yang dipakai oleh akademisi hukum untuk menterjemahkan aanslag (bahasa Belanda). Kata aanslag diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack. (detik.com, Kamis, 09/05/2019).

Istilah makar menjadi polemik tak berkesudahan karena beberapa hal berikut. Pertama, definisi ‘makar’ sudah salah kaprah dari asal katanya, yakni ‘aanslag’. Anslaag sendiri dalam bahasa Belanda diartikan sebagai serangan. Pasal makar di masa orde baru justru jarang dipakai. Orde baru lebih kental dengan UU Subversif untuk membungkam siapa saja yang menentangi penguasa saat itu. Di era pasca reformasi, pasal makar menjadi pasal karet dengan tasiran yang tak terbatas dan liar. Sangat berpotensi disalahgunakan bagi penguasa.

Kedua, ‘makar’ justru dijadikan tameng untuk membidik siapapun yang menurut pemerintah membahayakan negara dan melanggar hukum. Tak ayal, tudingan makar mudah meluncur dari lisan penguasa dan penegak hukum di negeri ini. Sebagaimana yang mereka lakukan pada gagasan Khilafah. Memonsterisasi Khilafah seolah ia adalah ancaman bagi negara. Padahal, gagasan Khilafah barulah sebatas ide yang bisa didsikusikan di ruang publik secara terbuka. Sama halnya dengan ideologi lain seperti komunisme dan kapitalisme yang bebas dibahas di ruang manapun.

Ketiga, aroma orde baru dan gaya militerisme begitu merebak di masa Jokowi. Sebagai contoh, kebijakan Wiranto yang membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengawasi ucapan dan perilaku para tokoh dan masyarakat. Sikap represif seringkali diterapkan kepada oposisi. Kebijakan kontroversi sebelumnya yang menerbitkan Perppu Ormas untuk membubarkan HTI menunjukkan betapa represifnya rezim Jokowi. Hukum dijadikan alat untuk menggebuk lawan-lawan politik.

Keempat, sikap lembek Presiden. Banyak pihak yang kontra dengan kebijakan Wiranto. Namun, Presiden sepertinya santai saja dengan sikap menteri dan bawahannya yang terkesan sewenang-wenang. Berbagai kegaduhan yang muncul tak segera diatasi dengan sikap tegas yang berwibawa. Malah sibuk cari kandidat ibu kota pengganti Jakarta.

Kata ‘makar’ akhirnya menjadi multitafsir. Penasiran bebas inilah yang membuatnya menjadi pasal karet. Lentur digunakan oleh siapapun yang memegang kekuasaan. Pasal makar bisa menjadi salah kamar dan keliru penerapan. Inilah salah satu bukti kelemahan hukum buatan manusia. Bisa salah fungsi dan penerapan.

Sesungguhnya hukum dibuat untuk mencegah kejahatan dan memberi efek jera bagi pelakunya. Namun, saat ini justru fungsi itu terbalik. Hukum di rezim Jokowi hanya digunakan untuk memukul lawan politik. Agar mereka jera untuk mengkritik kebijakan zalim. Ketahuilah, setinggi apapun kekuasaan yang dimiliki, jika disalahgunakan pasti membawa malapetaka.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button