SIRAH NABAWIYAH

Makna dan Hikmah Perjalanan Rasulullah ke Thaif

Tahun itu adalah tahun duka cita dan tahun terberat bagi Nabi Muhammad Saw. Bagaimana tidak, perlakuan penduduk Makkah semakin buruk, mereka merasa resah karena berulang kali gagal menghentikan dakwah beliau. Puncaknya dengan diboikotnya kaum Muslimin oleh Bani Quraisy. Setelah masa pemboikotan yang berlangsung kurang lebih tiga tahun, Rasulullah harus menerima kenyataan atas kepergian paman beliau, Abu Thalib yang senantiasa membela beliau dari kejamnya perlakuan Bani Quraisy.

Kesedihan pun makin bertambah tatkala, Khadijah istri tercintanya, anugerah terbaik yang Allah berikan kepada beliau pun wafat. Khadijah adalah wanita yang mendampingi beliau selama seperampat abad dalam masa senang dan susah. Ia senantiasa menghibur, membantu dan menyemangati Rasulullah. Khadijah pun orang yang pertama kali beriman kepada beliau dan menyerahkan sisa hidupnya membantu sang suami berdakwah, harta jiwa dan raga.

Dengan wafatnya Abu Thalib, Bani Quraisy semakin leluasa menyiksa Rasulullah karena tak adalagi pemuka Quraisy yang melindunginya. Dengan penuh harapan, Rasulullah berangkat menuju Thaif, daerah dataran tinggi yang berjarak kurang lebih 100 km dari Kota Makkah. Dengan ditemani mantan budaknya, Zaid bin Haritsah, beliau berjalan kaki menuju Kota Thaif dengan sepercik harapan penduduk Thaif mau menerima dakwah beliau, tersebab beliau masih memiliki hubungan kerabat dari pihak ibunda.

Sesampainya di Thaif, beliau mengetuk setiap pintu para pemuka masyarakat. Tak ada yang terlewat, semua beliau datangi dan diajak bicara serta menyeru mereka kepada Allah dan Islam. Beliau tinggal di Thaif selama sepuluh hari, namun amat disayangkan tak ada satu pun masyarakat Thaif yang menerima ajakan Rasulullah. Mereka malah mencaci dan mengusir beliau dari kota tersebut. Sampai akhirnya ketika Rasulullah hendak kembali ke Makkah, para pemuka masyarakat menghasut penduduknya dan menyuruh anak-anak kecil untuk melempari beliau dengan batu.

Tak terelakan lagi, Zaid bin Haritsah berusaha menjadi tameng bagi Rasulullah namun tak mampu menghadang serbuan batu yang dilemparkan oleh mereka, Zaid terluka di bagian kepala sementara Rasulullah terluka di bagian kakinya sehingga terompah beliau berlumuran darah. Orang-orang terus mengejar dan melempari beliau sampai akhirnya Rasulullah dan Zaid sampai di kebun kurma milik Utbah dan Syaibah.

Dalam keadaan lelah dan terluka beliau duduk serta bersandar pada sebuah pohon, dalam kesedihannya kemudian beliau memanjaatkan doa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku dan kehinaanku di mata manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah akan Kau serahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab amat luas afiat-Mu bagiku. Aku berlindung dengan cahaya Dzat-Mu yang menyinari kegelapan dan memperbaiki urusan dunia akhirat, dari amarah yang Kau turunkan atau murka yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sampai Engkau ridha. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan-Mu.”

Melihat kejadian itu sang pemilik kebun merasa iba kepada beliau dan memerintahkan pembantunya untuk membawakan beberapa butir anggur. Pembantu bernama Addas itu pun membantu membersihkan luka-luka Rasulullah yang sampai-sampai kaki beliau menempel erat dengan terompahnya tersebab banyaknya darah yang menempel dan mulai mengering.

Setelah itu, Rasulullah melanjutkan perjalanan kembali ke Makkah. Beliau meninggalkan Thaif dengan hati yang penuh luka. Sesampainya di tengah-tengah daerah antara Thaif dan Makkah, datanglah utusan Allah yaitu malaikat Jibril bersama malaikat penjaga gunung menyampaikan pesan, “Allah telah mendengar perkataan kaum-mu kepadamu dan apa yang mereka perbuat atas dirimu. Sesungguhnya Allah mengutus malaikat penjaga gunung, engkau bisa memerintahkan semaumu untuk membalas mereka.”

Kemudian dilanjutkan oleh malaikat penjaga gunung yang berkata, “Wahai Muhammad, demikianlah aku diperintahkan. Sekarang terserah apa maumu. Jika engkau menghendaki, akan kubalik dan kutimpakan dua gunung itu ke kepala mereka.” Meski dalam keadaan sedih dan terluka, Rasulullah sungguh manusia terbaik dan mulia yang memiliki hati seluas samudera, beliau menjawab, “Jangan, karena aku masih berharap dari anak keturunan mereka akan muncul orang-orang yang menyembah Allah saja, yang tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Sungguh cermin dari pribadi yang luar biasa. Seandainya beliau menginginkan malaikat penjaga gunung menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif maka sungguh itu akan terjadi, namun Rasulullah tidak menginginkannya karena beliau berharap di masa yang akan datang akan lahir umat yang memeluk Islam.

Kisah perjalanan Rasulullah ke Thaif sungguh sarat makna dan hikmah. Meskipun kita tidak bisa menyamai akhlak beliau yang mulia, setidaknya kita bisa mengambil hikmah untuk tetap memiliki harapan yang baik meskipun harapan itu tampak jauh dari kita. Kita pun sebagai hamba Allah juga harus senantiasa berserah diri kepada Allah, menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya. Tidak patah semangat di kala ujian mendera dan juga tidak menjadi manusia yang suka menyimpan dendam di dalam kalbu.

Dan terpenting adalah selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, karena di dalam kesedihan pasti ada hikmahnya, di dalam kesulitan pasti ada jalan keluarnya, di dalam kegelapan pasti akan datang cahaya. []

Dian Salindri
Anggota Tim Komunitas Muslimah Menulis Depok

Artikel Terkait

Back to top button