Makna Syar’i Jihad
“Atas dasar dalil agama, mempertahankan NKRI merupakan bagian dari kewajiban agama. Agama membenarkan untuk memiliki semangat kebangsaan. Agama tidak pernah memisahkan perhatiannya terhadap negara. Akan tetapi, justru karena semangat agamanya itu, ia rela berkorban dan terus berkarya untuk membangun bangsa.”
Statement di atas adalah kutipan dari pernyataan Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi. Beliau mengaku, pernyataan tersebut terinspirasi dari naskah resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. (Kemenag.go.id, 3/11/19)
Andaikan jika hari ini Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari masih hidup, kira-kira beliau (almukarom) akan tersenyum bahagia atau menangis nelangsa ya?
Bagaimana tidak, resolusi jihad yang dikumandangkan beliau pada jaman dahulu merupakan komando pemantik semangat para santri dalam melawan penjajah Jepang agar mangkat dari Indonesia.
Terbukti, pekikan takbir membakar semangat para pahlawan untuk teguh mengusir para penjajah. Pekikan takbir yang sahut menyahut mampu melucuti keberanian penjajah. Betapa berani rakyat Indonesia melawan mereka, padahal senjata di tangan hanyalah bambu runcing.
Semangat itu ternyata menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Inilah bukti bahwa Islam menolak keras penjajahan, fisik maupun pemikiran, dhahir maupun batin. Jihad adalah ajaran Islam yang mencerahkan, bukan membahayakan.
Namun apa yang terjadi hari ini? Ibarat nabok nyilih tangan. Maksud hati ingin memukul kelompok tertentu tapi atas nama resolusi jihad. Padahal hakikat resolusi jihad bukan begitu. Resolusi jihad dijadikan tameng untuk membungkam kritik umat, apa lagi yang menyuarakan khilafah sebagai solusi.
Makna jihad dideradikalisasi. Hari ini jihad yang dimaksud bukanlah berada di medan perang melawan penjajah. Di Indonesia memang penjajahan secara fisik tidak ada. Tapi, ekonomi, sosial, politik semua disetir dan dikendalikan oleh pihak-pihak asing di luar penguasa Indonesia. Indonesia tidak memiliki independensi untuk menentukan sendiri nasib bangsanya. Inilah yang disebut neoimperialisme (penjajahan gaya baru).
Alih-alih mengusir para “penjajah” (neoimperialis), kemenag Fachrul Razi justru mengarahkan perlakuan jihad kepada mereka yang bersifat kritis membangun Indonesia. Kelompok ini dilabeli dengan tuduhan radikal. Alasannya, karena kelompok tersebut ingin mendirikan khilafah.
Khilafah dan jihad ibarat tubuh dengan tangan. Jihad dan khilafah adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Khilafah tanpa jihad tumpul, jihad tanpa khilafah nihil. Jihad adalah kepanjangan tangan khilafah demi melakukan ekspansi ke negara lain, membebaskan rakyat di luar khilafah dari menyembah kepada makhluk beralih pada penyembahan kepada Allah.
Tanpa khilafah, jihad, berperang di medan perang hanya bisa dan boleh dilakukan dalam rangka mempertahankan diri (defensif). Seperti di Indonesia dulu, sebelum “merdeka”. Jihad diresolusikan untuk rakyat Indonesia demi mengusir para penjajah.
Sadar atau tidak, Indonesia sedang dijajah. Penjajahan yang tidak melalui fisik, membuat rakyat yang tak jeli tak merasakan hal itu. Solusinya hanya satu, kembali menerapkan semua aturan Allah dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishshawaab.
Keni Rahayu, S.Pd
(Ibu Muda dan Penggerak Remaja)