Manusia Butuh Syariat Islam
![](https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2025/02/mushaf-alquran.jpg?resize=650%2C401&ssl=1)
Sampai hari ini tetap berkembang opini di masyarakat bahwa syariat Islam menakutkan, tak manusiawi bahkan kejam. Tak layak dan tak cocok syariat diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan NKRI atau Pancasila. Yang menyuarakan penerapan syariat Islam dianggap radikal, ekstrem dan sesat. Realita ini menunjukkan bahwa syariat Islam jauh dalam kehidupan masyarakat walaupun mayoritas negeri ini adalah muslim. Mengapa demikian?
Muslim takut dan asing dengan syariat Islam menunjukkan degradasi akut pemikiran muslim. Berakidah Islam tapi kurang disertai kesadaran dan pemahaman yang benar pada Islam. Berakidah Islam sekadar taqlid dari orang tua dan enggan mengaktifkan akal untuk mempelajari tsaqafah Islam. Sehingga ‘mencerna’ dan ‘menelan’ Islam tak secara kaffah.
Apalagi mayoritas muslim hidup dalam negeri-negeri yang menganut sistem sekuler. Sistem yang memisahkan syariat Islam dengan kehidupan publik. Diperparah lagi framing negatif syariat Islam yang didesain oleh kekuatan kafir global. Karena kebencian mendalam dari jiwa mereka terhadap Islam. Semakin gelap lah syariat Islam dalam pandangan kaum muslim.
Hakikat Syariat
Tak ada jalan keluar mengatasi permasalahan di atas kecuali muslim harus memahami hakikat syariat Islam secara mendasar. Syariat kata serapan dari bahasa arab yang berkonotasi mauridu al-maa’ atau masyra’ah al-maa’ artinya sumber mata air (berlimpah dan tak pernah kering). Ibarat air yang menjadi sumber kehidupan manusia, syariat adalah sumber kehidupan muslim. Tanpa ada syariat muslim akan ‘mati’ dunia dan akhiratnya.
Syariat secara terminologis adalah sistem aturan Allah yang mengatur manusia, mencakup hamblumminallah (hubungan manusia dengan Allah) seperti ibadah ritual; hablum bin nafs (hubungan manusia dengan diri sendiri) seperti makanan, minuman, pakaian, akhlak; maupun hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia lain) seperti ekonomi, pergaulan, sosial, hukum, pemerintahan dan sebagainya.
Mengapa harus ada syariat Allah pada manusia?
Esensial bagi muslim memahami jawaban dari pertanyaan ini dari dua perkara. Pertama, hakikat manusia adalah makhluk Allah. Setiap manusia diciptakan Allah dengan potensi kehidupan berupa akal, hajatul ‘udhwiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri). Setiap potensi ini membutuhkan pemenuhan sesuai khasiat (karakteristik) secara fitrah. Khasiat setiap potensi kehidupan terikat pada aturan yang ditetapkan Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya. Artinya sunnatullah manusia membutuhkan syariat Allah dalam mengatur kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan, keselamatan dan keharmonisan hidup hakiki. Sebaliknya penelantaran syariat Allah secara mutlak membawa kebinasaan dan kesengsaraan pada manusia sendiri.
Kedua, kepastian manusia akan mati dan meninggalkan kehidupan dunia. Setelah kematian, ada pertanggungjawaban amal (hisab) selama menjalani kehidupan dunia. Syariat Allah yang dibawa para Rasul yang menjadi standar pertanggungjawaban amal secara mutlak. Sesuai dengan firman Allah:
مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
Siapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia mendapat petunjuk itu hanya untuk dirinya. Siapa yang tersesat, sesungguhnya (akibat) kesesatannya itu hanya akan menimpa dirinya. Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menyiksa (seseorang) hingga Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isra’ ayat 15)
Artinya syariat Islam adalah kebutuhan manusia untuk keselamatan dunia dan akhiratnya bukan untuk kepentingan Allah. Karena Allah tak butuh makhlukNya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا
“Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga. (HR. Muslim)