Gak apa-apa pacaran, asal gak kebablasan. Gak apa-apa gak berhijab, yang penting pakaiannya tidak tersingkap. Gak apa-apa gak kajian, yang penting tau batasan. Gak apa-apa gak berdakwah, yang penting bersedekah. Emang iya, gitu? Coba duduk bareng aku di sini.
Lagi jaman guys, deradikalisasi. Itu maksudnya, proses reduksi nilai-nilai Islam demi kepentingan duniawi. Suka banding-bandingin syariat ini itu, alasannya seolah syar’i. Padahal, alasan aja sebagai wujud moderasi sejati.
Apaan itu moderasi? Ketika manusia diminta jalan ke kanan tapi rasanya sulit sekali sebab jalan ke kiri menarik menari-nari, maka jalan tengah bercahaya menawarkan solusi. Jalan tengah menjadi sorotan yang paling dicari. Islam moderat menyajikan gagasan bahwa berislamlah seperlunya, yang sedang-sedang saja. Jangan fanatik. Maka begitu tuh jadinya, banding-bandingkan syariat satu dengan yang lain. Dipilih dan dipilah aturan hanya yang manusia kehendaki. Padahal semua syariat hukumnya wajib dipenuhi.
Seharusnya kan, ketika Allah haramkan pacaran, ya hindari. Allah wajibkan berhijab, ya penuhi. Allah wajibkan berdakwah, ya sampaikan sepenuh hati. Gak ada ceritanya syariat prasmanan. Diambil yang dimau, ditinggal yang tidak diselera. Mending terpaksa masuk surga kan daripada rela hati masuk neraka?
Berasa lucu ketika ada pernyataan, “pacar saya salih kok, dia selalu ngajak saya kajian”. Mohon maaf mbak, cowok salih gak akan ngajak pacaran. Ada lagi yang gak kalah lucu, “saya punya kenalan hafal Qur’an, tapi kok dia sukanya ngajak saya berduaan ya? Minta gandeng tangan dan lebih-lebih. Saya iya aja karena saya percaya. Dia kan hafal Qur’an”, saya jawab saja dengan tegas: mbak itu cowok udah kenal Qur’an aja masih begitu, apalagi gak kenal? Mbak juga jangan terlalu husnuzan. Sudah tahu cowok begitu masih diladeni aja. Emang gak ada cowok saleh lainnya? Indikator saleh itu bukan “cuma” hafal Qur’an mbak, tapi diamalkan. Di-a-mal-kan.
Saleh Sekuler
Tulisan ini sebuah refleksi diri. Tertuju kepada siapa saja yang mengaku sudah berhijrah, tapi ternyata tidak pernah melangkah. Kita merasa sudah bertaubat, ternyata hanya jalan di tempat. Maka jangan berpuas setelah merengkuh gamis, kerudung lebar dan kaos kaki. Masih banyak syariat Allah lain yang harus kita dalami lagi.
Jangan berbangga dengan lelaki yang gak pacaran lalu mengejar-ngejarnya. Sesungguhnya mereka juga sedang memantaskan diri. Tidak perlu di-uwu, tidak perlu diseru. Cukup cantiklah dalam diam. Jodoh tak akan ke mana.
Banyak lho cowok saleh sekuler. Ya saliha sekuler juga banyak. Kemasannya Islami, tapi berpuas diri. Sebagian aktivitas barunya taat, sebagian maksiat masa lalu masih tertambat. Ini nih yang jadi senjata para anti Islam merusak nama Islam. “Tuh kan, makanya gak usah fanatik dalam beragama. Anak ustaz aja begitu. Mending nakal sekalian. Toh sama aja”. Padahal, Islam tetap tinggi. Adalah pemeluknya yang perlu diperbaiki.
Itulah kenapa kita kudu ngaji. Iya iya, baca Qur’an iya. Tapi bukan itu saja. Baca artinya, dalami maknanya. Cari guru, kaji isinya. Biar kita tahu, apa sih sejatinya ayat cinta Allah yang sedang kita hafalkan mati-matian. Biar kita paham, apa sih sejatinya bulir-bulir ayat suci yang Allah anugerahi pada umat akhir zaman ini. Ngaji, ya. Ngaji.