Maraknya Kekerasan Seksual Buah dari Penerapan Sistem Sekuler
Tindak kekerasan seksual terus terjadi disekitar kita. Belum lama ini kita dikejutkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum perawat kepada pasiennya. Menyusul setelahnya kabar tindak pelecehan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap calon perawat. Tidak hanya itu, tindak kekerasan seksual juga menyasar anak-anak. Seorang gadis berusia 15 tahun diperkosa oleh ayah dan pamannya hingga hamil di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Bahkan dalam dua bulan terakhir, ditemukan lima kasus pemerkosaan ayah terhadap anak hingga hamil di Indonesia.
Di awal tahun 2018, menurut ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), A.Haris Semendawai menyatakan kasus kekerasan seksual khususnya terhadap anak menunjukkan peningkatan. Pada bulan Januari, jumlah anak korban kekerasan seksual bisa lebih dari 100 orang dan tersebar di beberapa daerah. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto pun membenarkan, faktanya angka kekerasan seksual anak cukup tinggi pada tahun 2015 ditemukan 218 kasus, lalu menurun tahun 2016 menjadi 120 kasus dan 116 kasus pada 2017. Namun naik drastis pada tahun 2018 dilihat dari puluhan kasus yang telah ditemukan. Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah sampai mengatakan, “Indonesia dalam darurat kejahatan seksual terhadap anak.”
Fenomena kekerasan seksual yang terus merebak bahkan menyasar anak-anak amatlah memprihatinkan. Ibarat gunung es, yang tampak hanya dipuncaknya saja, sedangkan bagian bawahnya sulit dideteksi. Menurut Susanto, motif yang mendorong kekerasan seksual diantaranya dipicu oleh faktor ekonomi, dendam maupun dorongan seksual yang tinggi. Sejalan dengan itu, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Hasan menyatakan kekerasan seksual terhadap anak 80% dipicu oleh kemudahan mengakses konten pornografi. Bahkan menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise, berdasarkan data Interpol dan polri di tahun 2017 saja terdapat 25.000 aktivitas pornografi anak baik yang diunduh maupun diunggah setiap harinya di Indonesia.
Hal ini harusnya menjadi tanda peringatan keras bagi kita khususnya orangtua untuk mengawasi dan membatasi anak dalam penggunaan media internet. Namun, lebih jauh lagi kita perlu memahami bahwa ada persoalan mendasar yang membuat rusaknya tatanan sosial masyarakat saat ini. Tumbuh suburnya nilai kehidupan yang materialistis, hedon dan liberal semakin mengakar di masyarakat. Individu semakin jauh dari Islam. Syahwat diumbar dan dipenuhi dengan cara-cara yang diharamkan. Maraknya pornografi, digemarinya hubungan di luar nikah seperti pacaran, diiringi dengan propaganda nilai-nilai barat yang asing dalam Islam melalui tontonan, bacaan dan menyebar tak terkendali di media sosial. Hal ini diperparah dengan rendahnya kontrol masyarakat, lemahnya hukum dan sanksi yang tidak tegas dari negara. Para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal dengan kerusakan yang diakibatkannya. Bahkan mereka mengulangi perbuatannya tatkala kembali hidup di tengah masyarakat. Sehingga semakin memperlihatkan minimnya tindakan penguasa untuk mencegah, menindak dan menanggulanginya.
Paham kebebasan untuk berperilaku, disadari atau tidak telah menjadi hal lumrah. Akal dan naluri manusia tidak dikawal dengan pemahaman agama. Hingga hasrat seorang Ayah dapat muncul kepada putrinya atau nafsu seorang pria muncul kepada anak-anak. Segala perilaku rusak ini akibat dari penuhanan syahwat dan pengkerdilan akal yang mementingkan pemuasan semata. Kebobrokan sosial ini bermuara pada hilangnya penjaga keimanan, pengabaian hukum syariah dan pemisahan agama oleh negara. Sebab Islam dengan jelas telah mengatur sistem kemasyarakatan yang mumpuni untuk menjamin kehidupan umat manusia.
Islam sebetulnya memiliki sistem pergaulan (nizham ijtima’i) yang sempurna. Termasuk didalamnya untuk meminimalisir pemicu syahwat dan memperkecil peluang tindak kejahatan seksual. Pertama, Islam telah membatasi wilayah aktivitas seorang muslim, dimana terdapat wilayah khas (khusus) dimana segala aktivitas pribadi terlaksana sehingga yang bukan mahram tidak bisa dilibatkan, misalnya segala kegiatan di kamar tidur, toilet, dapur dan seluruh rumah. Adapula wilayah aam (umum) dimana aktivitas umum yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya membolehkan interaksi dengan selain mahram seperti sekolah, berobat ke rumah sakit, belanja ke pasar dan sebagainya. Tatkala berada di wilayah khusus dan umum, maka seorang muslim akan terikat dengan berbagai hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.
Misalnya, seorang muslim akan dituntut untuk menutup aurat sebatas pada mahramnya kala berada di wilayah khusus yakni rumahnya. Namun tatkala memasuki wilayah umum, ia dituntut untuk menutup aurat secara menyeluruh ditambah menahan dan menundukkan pandangannya serta berinteraksi sesuai kebutuhan saja. Sehingga tidak terjadi interaksi sia-sia apalagi haram seperti pacaran, bergosip, menyaksikan tontonan mengumbar aurat, pornografi dan sebagainya.
Kedua, Islam mengatur pemenuhan naluri seksual dengan benar. Sedari dini, anak-anak dibiasakan merasa malu kala menampakkan auratnya lebih-lebih organ intimnya di depan siapapun. Orangtua menanamkan maskulinitas dan feminitas anak-anaknya sesuai fitrah agar tidak memicu penyimpangan. Selanjutnya memisahkan tempat tidur, mengajarkan bagaimana adab masuk ke kamar orangtua, mengenalkan tanda-tanda dewasa (haid dan ihtilam) beserta konsekuensinya, mengenalkan mahram, melarang khalwat dan ikhtilat, menjaga pandangan dan seterusnya. Hingga mereka memahami siapa yang boleh melihat aurat serta nteraksi apa yang boleh dan tidak. Karakter yang berkembang didasari keimanan kepada Allah sehingga apa yang membatasi ruang gerak mereka adalah perintah dan larangan Allah. Maka saat naluri seksualnya muncul pilihan mereka adalah menahan diri dengan puasa lalu mengalihkannya dengan aktivitas bermanfaat lain atau menikah bila mampu.
Ketiga, Islam dengan seperangkat aturannya telah mengkondisikan setiap muslim senantiasa peduli terhadap lingkungannya. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Hadits di atas mengindikasikan bahwa setiap muslim wajib memperhatikan dan mengubah kemungkaran yang ada disekitarnya sesuai dengan kapasitas dan kewenangannya. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya, “Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal : 25)
Ayat ini memberi penegasan bahwa berdosa bagi setiap muslim apabila mengabaikan kemaksiatan yang terjadi disekitarnya. Bahkan Allah memberi ancaman siksa yang dapat menimpa seluruh orang tanpa membedakan apakah dia termasuk orang zalim atau beriman. Dengan kata lain kaum muslimin wajib memiliki kontrol masyarakat yang kuat.
Terakhir, Islam mewajibkan kita untuk selalu berpegang teguh pada syariahnya tak terkecuali penguasa. Maksudnya hendaklah setiap persoalan yang muncul seperti kekerasan seksual diatasi dengan tata cara Islam, ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 49-50)
Islam memandang negara dalam kapasitasnya sebagai perangkat yang menerapkan aturan akan menetapkan sanksi yang tegas dengan efek jera. Para pelaku seksual baik yang terpaksa dengan kekerasan maupun suka sama suka (zina) akan diberi sanksi berupa hudud atau ta’zir sesuai ketentuan syariah dan ijtihad penguasa. Hukum yang diberikan sesuai dengan ketentuan Allah Yang Maha Adil, sehingga penerapannya akan sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menentramkan hati. Bahkan dapat menghapuskan dosa si pelaku.
Oleh sebab itu, selayaknya kita menelaah kembali bahwa penyebab segala kerusakan di sekitar kita disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang telah memisahkan Islam dari kehidupan yakni diadopsinya sekulerisme. Sehingga mengakibatkan jauhnya Islam sebagai sistem hidup dalam keseharian kita. Islam hanya diberi ruang dalam ibadah namun dieliminir dalam persoalan-persoalan hidup. Maka sungguh dengan mengembalikan peran Islam dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, di sanalah akhir dari kerusakan secara total dan kekerasan seksual dapat dicegah serta ditanggulangi dengan tuntas.
Wallahu’alam bishawwab
Ummu Athaya
Ibu Rumah Tangga, Bandung.