Mas Menteri! Jangan Sibuk Urus Seragam, Benahi Sistem Pendidikan
Malang benar nasib HT (48). Warga Karangmalang, Blok A35, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta ini harus mendekam di balik jeruji besi. Ibu rumah tangga tersebut nekat mencuri gas elpiji tiga kilogram di sebuah warung kelontong yang ada di Sinduharjo, Ngaglik, Sleman pada Kamis (4/2/2021) lalu.
HT mengaku nekat mencuri sebab terlilit masalah ekonomi. Mirisnya, uang hasil penjualan gas tersebut, akan dipakai untuk membelikan paket internet, yang dibutuhkan oleh anaknya yang masih sekolah. (harianjogja.com, 7/2/2021).
HT tidak sendiri, di luar sana tidak sedikit kasus yang sama terjadi. Di Garut, seorang ayah nekat mencuri HP demi anaknya agar dapat belajar daring. (kumparan.com, 5/8/2020). Di Medan, seorang ayah mencuri sepeda motor dengan alasan yang mirip. (suara.com, 20/8/2020). Tampak nyata, mengakses pendidikan menjadi barang mahal saat pandemi.
Pandemi tidak hanya menelan korban nyawa, tapi juga mematikan ekonomi warga. Rakyat pun terbelenggu derita yang seolah tak berkesudahan. Sedihnya, ruwetnya akses pendidikan sukses menambah daftar panjang kesulitan rakyat. Sebelum pandemi mengakses pendidikan sudah susah, kini jauh lebih susah.
Dii tengah kesulitan rakyat mengakses pendidikan selama pandemi. Rakyat tampak berjuang sendiri, kurang dukungan dan peran negara dalam menuntaskan kesulitan ini. Terseok sendiri demi meraih hak pendidikan yang semakin tak terbeli. Jalan pintas pun ditempuh. Cara haram pun dipilih. Semua itu demi melihat buah hati mengenyam pendidikan saat pandemi.
Sedihnya, alih-alih mengurai benang kusut ini, membenahi akses dan sistem pendidikan bagi generasi. Mas Menteri Nadiem malah sibuk urus seragam sekolah yang sudah jelas hukumnya secara syarak. Terbukti Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pun ditandatangani demi merespons kasus “Jilbab Padang” yang katanya intoleransi. Padahal sejatinya aroma tak sedap Islamofobialah yang tercium dari balik SKB Tiga Menteri.
Sebagaimana diketahui publik, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas resmi menerbitkan SKB Tiga Menteri. Surat keputusan ini tidak hanya mengatur penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah, tapi juga mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. (kompas.com, 4/2/2021).
Menurut Mas Menteri, atribut keagamaan di sekolah negeri merupakan keputusan individu. Ia menegaskan sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. (tempo.co, 4/2/2021).
Tampaknya SKB Tiga Menteri tidak hanya mengokohkan islamofobia rezim ini, tapi juga menjadi bumerang bagi generasi. Tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, seolah semakin jauh panggang dari api.
Kritik keras pun muncul dari para tokoh elite menanggapi SKB Tiga Menteri ini. Ketua MUI KH. Cholil Nafis misalnya. Pengasuh Ponpes Cendekia Amanah ini mengingatkan bahwa memakai jilbab bagi muslimah adalah wajib. Ia juga mempertanyakan jika mewajibkan yang wajib tidak boleh, lalu pendidikannya dimana? (sindonews.com, 5/2/2021).